Antara Zuhud dan Cinta Dunia

Pengertian Zuhud

Kata zuhud apabila dilihat menurut bahasa artinya meninggalkan dunia. Sedangkan takrif istilah Islam, arti zuhud adalah hati tidak terpaut atau tidak terpengaruh dengan dunia dan segala nikmatnya. Pengertian menurut syariat ini yang akan menjadi dibahas di sini karena zuhudyang sesuai syariat disukai oleh Allah dan Rasul. Hal itu juga termasuk dalam sifat-sifat mahmudah.

Jika pengertian zuhud seperti itu, tidak semestinya orang yang zuhud itu tidak memiliki dunia atau mesti meninggalkan segala nikmat dunia. Boleh jadi nikmat dunia yang dia dimiliki lebih banyak dari orang lain atau dia mengendalikan banyak urusan dunia. Namun, dunia yang melimpah itu, yang dimiliki atau yang dikendalikannya itu tidak mempesona dirinya. Dunia yang melimpah itu tidak sedikit pun jatuh ke hatinya. Bahkan baik dunia itu ada atau tidak, sama saja padanya.

Dia memiliki dunia serta mentadbirnya adalah dengan tujuan agar dunia itu dijadikan alat untuk memudahkan beribadah kepada Allah SWT dan berkhidmat sesama manusia. Dunia yang dimilikinya itu dijadikan jambatan untuk ke Akhirat. Ini sesuai pula dengan tuntutan ajaran Islam yang dinyatakan dalam hadis Nabi Muhammad saw:

Maksudnya: “Dunia itu adalah tanam-tanaman untuk Akhirat.” (Riwayat Al ‘Uqaili)

Itulah Islam. Islam mengajar atau mendidik kita bahwa dunia itu boleh diambil tetapi biarlah ia dapat dijadikan modal untuk beribadah kepada Allah dan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya kepada manusia.

Demikianlah, supaya dengan itu memudahkan seseorang itu untuk mendapatkan pahala sebanyak- banyaknya agar dia memperoleh nikmat Syurga di Akhirat. Siapa yang menjual dunianya untuk Allah atau untuk Akhiratnya, maka Allah akan beli dengan bayaran yang berlipat ganda, jauh lebih tinggi nilainya. Yaitu digantikan dengan nikmat Syurga yang kekal abadi dan terhindar daripada siksa Neraka yang amat azabnya.

Persoalannya sekarang, bagaimana hukum dan cara kita mengambil dunia ini? Dan bagaimana cara mengendalikan dunia ini setelah realitinya ia berada di hadapan kita?

Pada saya ada beberapa kategori yaitu:

1. DUNIA YANG WAJIB

Dunia yang wajib diambil selagi ia halal ialah sekadar keperluan asas saja. Yang tidak boleh tidak (dharuri), yang mesti ada seperti tempat tinggal, makan minum, pakaian dan lain-lain. Kalau tidak diambil akan berlaku kecacatan di segi syariat atau di sudut fisik. Siapa meninggalkannya, haram hukumnya kecuali setelah diusahakan tidak behasil memperolehnya. Ini tidak menafikan zuhud.

2. DUNIA YANG SUNAT

Dunia yang sunat diambil ialah perkara yang digunakan (selagi halal) untuk kemudahan di dalam menunaikan tanggungjawab yang wajib serta digunakan untuk menghasilkan perkara yang tidak boleh tidak. Seperti kenderaan yang perlu, alat-alat rumah yang memudahkan menjalankan tugas rumah tangga seperti dapur gas, pinggan mangkuk, periuk, dulang, mesin cuci, mesin jahit dan lain-lain.

Agar dengan itu tidak membuang waktu yang banyak. Dan memudahkan menjalankan tanggungjawab. Bahkan adakalanya menjadi wajib aradhi (wajib mendatang). Kalau tidak ada alat-alat itu maka urusan yang wajib menjadi terkendala. Ini juga tidak menafikan zuhud. Perlu diingat, keperluan seseorang antara satu sama lain tidak sama. Maka sudah tentu alat-alat keperluan tidak sama. Sebagai contoh, alat-alat keperluan seorang guru sudah tentu tidak sama dengan alat-alat keperluan seorang petani. Kiaskanlah yang lain-lainnya.

3. DUNIA YANG HARAM

Dunia yang haram wajib ditolak seperti arak, uang judi, suap, hasil riba, hasil zina, tipu, rompak dan lain-lain. Ini karena perbuatan yang haram itu akan membawa ke Neraka.

4. DUNIA YANG MAKRUH

Dunia yang makruh diambil yaitu harta-harta yang syubhat. Yakni perkara-perkara yang samar-samar bercampur antara yang halal dan yang haram, yang tidak dapat dipastikan yang mana halal dan yang mana haram. Maka hukumnya makruh. Bagi orang yang warak, dia terus meninggalkannya. Sesiapa yang terlibat dengan harta syubhat ini ternafilah zuhudnya karena ia dibenci.

5. DUNIA YANG MUBAH

Dunia yang mubah (harus) diambil yaitu yang berbentuk untuk bersedap-sedapan, untuk kenyamanan seperti kursi yang mewah, buaian, kursi istirahat, tilam, tempat tidur yang mahal, kamar yang agak luas dari kadar biasa tetapi tidak keterlaluan besarnya, kenderaan yang mewah dan lain-lain, selagi halal. Cuma hisabnya banyak dan ia juga menafikan zuhud.

6. PEMUBAZIRAN

Perkara yang halal sekalipun, kalau digunakan terlalu berlebih-lebihan, sudah melebihi batas kenyamanan dan bersedap-sedap, ini sudah dianggap pemubaziran. Sedangkan pemubaziran adalah haram di sisi Allah. Dalam Al Quran pemubaziran itu dianggap sebagai kawan syaitan. Firman-Nya:

Maksudnya: “Sesungguhnya orang yang membazir itu adalah saudara kepada syaitan.” (Al Israk: 27)

Jadi, jika kita dapat menggunakan atau mengendalikan dunia yang dimiliki, yang tidak menafikan zuhud yaitu cara yang pertama dan kedua (dunia yang wajib dan sunat), ia masih dikatakan zuhud.

Dalam Islam, kalau seseorang itu mengambil dunia sekadar yang perlu dan untuk kemudahan atau paling tidak untuk kenyamanan, kemudian selain dari itu, dia tidak mau mengusahakannya karena kurang yakin dia boleh amanah dalam menggunakan dunia itu untuk Allah dan masyarakat, maka tidak salah dia berbuat demikian.

Demikianlah sebaliknya, kalau seseorang itu yakin dia dapat berlaku amanah pada dirinya terhadap dunia atau dapat mengendalikan dunia untuk Allah dan masyarakat dengan sebaik-baiknya, yakni dia yakin dapat berbuat kebaikan dan kebajikan yang banyak serta dapat bersyukur, maka tidak mengapa dia berusaha mencari kekayaan selagi halal. Padanya boleh berbuat demikian. Ini juga tidak menafikan zuhud.

Sebagai contoh: Katalah dunia itu ialah jabatan tinggi. Kita tidak yakin dengan jabatan itu kita boleh berlaku amanah terhadap Allah dan masyarakat, maka tidak salah kalau kita menolak jabatan tersebut. Sebaliknya, kalau kita yakin dengan jabatan itu kita dapat amanah dengan Allah dan masyarakat, maka tidak salah pula kita mengambilnya. Kalau harta, kita dapat mengambil sebanyak yang bisa didapat. Oleh karena itu kita perlu menghadapi dunia ini dengan iman dan taqwa agar dapat diurus dengan penuh amanah dan rasa tanggungjawab.

Perlu rasanya saya ingatkan, jika berlaku dalam satu masa atau satu zaman, secara umum masyarakat Islam tidak dapat melaksanakan fardhu kifayah; menyediakan keperluan makan minum yang halal, membangunkan tempat-tempat pendidikan, membeli persenjataan untuk melawan musuh-musuh, memberi beasiswa pada anggota masyarakat yang pandai supaya berilmu di berbagai bidang yang menjadikan masyarakat tidak bergantung kepada orang lain; maka bagi orang yang mampu di waktu itu, wajib aradhi dia mengusahakan hingga terlaksananya fardhu kifayah tadi. Kalau tidak, akan menjadi satu kesalahan pada mereka.

Juga diingatkan, apabila berzuhud jangan sampai kita atau Islam terhina. Ini dilarang kecuali kita memang tidak mampu walaupun sudah berusaha untuk mengadakan keperluan-keperluan yang asas. Di waktu itu tidak mengapa dan kita perlu bersabar. Jadi, kita perlu memahami sungguh-sungguh akan pengertian zuhud ini. Kalau tidak, jadilah kita orang yang mewah tidak bertempat atau miskin sampai terhina atau bermewah-mewah di sebarang tempat.

Maksudnya begini; untuk dapat mengekalkan zuhud mesti dilakukan beberapa cara. Di antaranya:

Mewah mesti tepat pada tempatnya. Contoh, kalau makan kenduri atau makan berjemaah, dibenarkan kita bermewah-mewah lauk-pauknya. Tetapi kalau kita makan seorang, eloklah berzuhud.

Miskin itu tidak dilarang tetapi tidak dibenarkan sampai tidak mencukupi keperluan-keperluan asas. Jadi dibenarkan miskin asal cukup keperluan asas.

Bermewah-mewah tidak boleh di sebarang tempat yakni di waktu orang semuanya miskin, tidak dibenarkan kita bermewah-mewah. Agar kekayaan itu dapat disalurkan kepada orang miskin.

Secara ringkasnya, kita boleh mengambil dunia ini tetapi perlu pertimbangkan mengikut ukuran semasa atau individu atau jemaah atau kumpulan atau pemimpin atau mengikut tanggungjawab serta tugas-tugas yang dipikul oleh seseorang dan lain-lain

Contoh: Mengikut ukuran semasa yang tidak menafikan zuhud:

Di zaman ini untuk efisiensi waktu, tenaga dan lain2, perlu naik kendaraan kapal terbang untuk perjalanan yang jauh, bukan pakai dokar yang ditarik sapi atau kuda atau naik mobil.

Di zaman modenr ini untuk berhadapan dengan musuh-musuh, perlu kita gunakan senjata-senjata canggih bukan lagi menggunakan keris.

Contoh: Mengikut ukuran kumpulan atau jemaah yang tidak menafikan zuhud:

Tidak salah bagi orang yang berjuang yang senantiasa sibuk, demi efisiensi waktu, tenaga dan lain-lain serta karena selalu didatangi tetamu, maka di rumahnya dilengkapi dengan kulkas, dapur gas, mesin cuci dan parabot untuk kemudahan lainnya. Tidak salah juga menyediakan permadani di rumah, di kantor dan di masjid selagi halal dengan tujuan menghormati tetamu atau kepentingan umum. Bahkan di negeri-negeri dingin, menyediakan permadani di rumah dan di masjid sudah menjadi wajib aradhi pula.

Bahkan melengkapi alat-alat kemudahan ini sudah jadi perlu bagi orang yang berjuang yang masanya terbatas. Kalau terlalu lama masa dihabiskan untuk mencuci misalnya, ini dikira termasuk pemubaziran waktu, tenaga dan lain-lain. Sedangkan waktu itu sepatutnya lebih baik digunakan untuk pengurusan hal-hal yang lebih perlu. Katalah contohnya, dengan adanya mesin cuci, kita ada waktu lebih untuk melayan suami terutama kalau suami kita pulangnya pun hanya sekali-sekala. Boleh juga diniatkan sewaktu mesin cuci itu bekerja, kita dapat istirahat atau tidur, dengan tujuan dapat bangun sembahyang malam. Kecuali untuk orang perseorangan yang tidak berjuang atau tidak ada tanggungjawab menyediakan kemudahan-kemudahan ini, dia tergolong orang yang tidak zuhud sebab kalau diberi kemudahan dia akan santai saja. Mungkin tidur baring saja atau duduk-duduk berbual kosong atau menjadikan dia berlalai-lalai. Ini menjadikan dia cinta dunia.

Berbeda dengan orang yang berjuang, yang waktunya terbatas, banyak tanggungjawab dan senantiasa bergerak cepat. Kalau tidak ada alat-alat kemudahan ini, ia akan melambatkan atau mengganggu program-program yang lain. Atau banyak tanggungjawab tidak dapat dilaksanakan.

Contoh lain: Mengikut ukuran pemimpin yang tidak menafikan zuhud. Bagi seorang pemimpin, penting padanya keperluan alat-alat kemudahan yang canggih seperti mobil, telefon, faks, komputer, perbelanjaan perjalanan dan lain-lain lagi. Kalau tidak ada kemudahan alat-alat tadi, sudah tentu terkendala perjuangannya.

Juga diingatkan, kalau duit kita terbatas, janganlah dihabiskan untuk membeli barang-barang untuk kemudahan. Dibimbangkan, nanti tidak ada langsung bagian untuk kita berbelanja pada perkara-perkara yang asas atau terabai kewajiban fardhu kifayah. Ini akan jadi satu kesalahan. Karena perkara yang asas, wajib ditunaikan dan membangunkan masyarakat itu adalah lebih perlu supaya terlaksananya fardhu kifayah. Itu lebih patut kita utamakan. Biarlah kita susah sedikit asalkan kewajiban dapat ditunaikan.

CINTA DUNIA

Lawan zuhud ialah cinta dunia. Yakni orang yang hatinya terpaut dengan dunia atau mencintai dunia. Sama ada dia boleh memiliki dunia atau tidak, sedikit atau banyak, maka ternafilah sifat zuhudnya. Antara dunia itu ialah harta, yakni yang berupa uang, emas, intan berlian, rumah, kenderaan, tanah, kebun dan lain-lain lagi. Atau pangkat seperti jabatan raja, perdana menteri, menteri, direktur, dan lain sebagainya.

Dunia ini sifatnya mempesona seperti gadis cantik yang memperdaya. Siapa yang memandang semua akan jatuh hati. Jadi siapa saja yang memandang atau memiliki gadis cantik ini tidak lepas dari tertarik atau tergoda padanya. Begitulah juga dengan orang yang cinta dunia. Sudah pasti dunia itu akan mempesonanya. Orang ini tidak akan dapat lepasdari tipu daya olehnya. Allah nyatakan hal ini di dalam firman-Nya:

Maksudnya: “Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan bagi orang yang terpedaya.” (Al Hadid: 20 / Ali Imran: 185)

Allah juga memberi peringatan keras di dalam firman-Nya: Maksudnya: “Jangan sampai dunia itu menipu daya kamu.” (Luqman: 33)

Itulah dunia. Kenapa setelah Allah beri dunia, kemudian dilarang- Nya kita mengambil sewenang-wenangnya dan dunia itu dikatakan penipu pula? Apa maksudnya?

Maksud dunia itu menipu ialah ia menjadikan manusia lalai, tidak dapat tunduk dan tidak patuh lagi pada syariat Allah SWT. Kemudian cinta dunia boleh menyebabkan seseorang itu menjadikan matlamat hidupnya hanya untuk dunia walaupun dia tahu dunia ini tidak kekal. Dia tahu dia juga akan mati dan akan kembali ke Akhirat. Namun dia tidak buat persiapan atau persediaan apa-apa untuk ke sana.

AKIBAT CINTA DUNIA

Cinta dunia ini dapat mengakibatkan beberapa hal. Di antaranya:

  • Dia senantiasa bertungkus-lumus memburu dunia sehingga tidak pernah memperhitungkan halal atau haram.
  • Hatinya senantiasa bimbang atau tidak tenang kalau-kalau dia tidak mendapat dunia yang diburunya itu.
  • Dia jadi manusia yang inferiority complex atau hina diri dengan manusia yang berada bilamana dunia itu tidak dapat dimilikinya.
  • Kalau dia memiliki dunia itu, bimbang pula kalau-kalau hilang atau berkurang dari tangannya. Bimbang dibinasakan oleh bencana alam atau dicuri oleh manusia dan sebagainya.
  • Kalau dia lihat ada orang lain dapat lebih darinya, dia akan susah hati. Dia akan berusaha mencari lagi untuk mengatasi orang itu dengan apa cara pun, selain merasa hasad dengki terhadap orang itu.
  • Dia jadi orang yang berangan-angan untuk senantiasa terus menambah lagi dunia yang telah ada dan fikiran serta usaha-usahanya senantiasa ke arah itu.
  • Dia akan jadi orang yang tamak dan rakus.
  • Kalau dia memiliki dunia, dia akan jadi manusia yang sombong dan boleh jadi kejam.
  • Walaupun niatnya untuk mencari kebahagiaan atau ketenangan tetapi badan, hati dan fikiran tidak kenal istirahat, tidak ada ketenangan dan kebahagiaan lagi.
  • Ia tidak akan tunaikan kewajiban dengan dunia yang dimilikinya. Umpamanya, jika dia dapat pangkat atau jabatan dia akan jadikan itu semua untuk kepentingan diri peribadinya lebih dari Allah SWT dan dari berbakti kepada masyarakat.
  • Kalau dia orang yang berharta, ia tidak akan keluarkan zakat yang menjadi kewajibannya. Apatah lagi kewajiban yang aradhi dan untuk bersedekah.
  • Ia tidak akan tunaikan kewajiban yang aradhi (mendatang). Contoh, orang yang susah tidak dibantunya. Kalau negaranya menghadapi perang, bencana atau kesusahan, dia tidak akan memberi bantuan.
  • Akan timbul pecah belah dan hilang kasih sayang dan persaudaraan karena sombong dengan dunia dan kepentingan diri sendiri.

Manusia akan membencinya. Apatah lagi Allah. Sebab itu sebuah Hadis Nabi Muhammad SAW menyeru:

Maksudnya: “Hendaklah kamu zuhud dengan apa yang ada di dunia niscaya kamu akan dicintai Allah. Hendaklah kamu berzuhud dari apa yang ada pada manusia niscaya kamu akan dicintai oleh manusia.” (Riwayat Ibnu Majah)

Ia akan jadi perusak masyarakat. Karena hendakkan dunia, dia sanggup menipu, menyogok, rasuah, makan riba, beli undi, beli ijazah, beli kertas periksa, beli perempuan atau lelaki dan lain-lain lagi.

Kalau dia berjabatan pemerintah, mungkin dia jadi diktator, kejam, dzalim, yang sanggup menjatuhkan lawan dengan menaburkan uang untuk mempertahankan kedudukannya, menghina dan memfitnah orang demi mempertahankan jabatan atau karena inginkan jabatan itu.

Timbullah huru-hara, haru-biru, kucar-kacir, demontrasi atau mungkin juga peperangan di tengah-tengah masyarakat.

Demikianlah buruknya akibat cinta dunia ini. Maka berlakulah kemuncak kerusakan di kalangan umat Islam di akhir zaman ini. Hatta tidak berpadunya mereka karena inilah. Hingga mereka menjadi lemah dan binasa. Baginda Nabi Muhammad saw sendiri pernah berpesan:

Maksudnya: “Akan tiba ketikanya kamu akan dikeronyok oleh musuh-musuh sebagaimana orang-orang yang berebut untuk makan suatu hidangan.” Para Sahabat bertanya: “Apakah ketika itu jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?” Jawab Baginda: “Tidak, bahkan jumlah kamu ketika itu ramai sekali tetapi seperti buih-buih ketika air bah, sedang kamu ditimpa penyakit wahan.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahan itu ya Rasulullah?” Baginda menjawab: “Kecintaan kepada dunia dan takut mati.” (Riwayat Abu Daud)

Bahkan cinta dunia inilah yang menimbulkan seribu satu macam penyakit masyarakat. Sebab itu Baginda Nabi Muhammad saw mengingatkan kita:

Maksudnya: “Cinta dunia kepala segala kejahatan.” (Riwayat Al Baihaqi)

Di sinilah pentingnya memiliki sifat zuhud itu.

Pada saya, dunia itu boleh diambil atau dikendalikan dengan syarat kita tidak jatuh hati padanya dan mengambilnya mengikut keperluan- keperluan yang telah disenaraikan tadi. Tetapi kalau tidak ada dunia dalam tangan sedangkan hati gila dunia, tetap juga tidak dikatakan zuhud. Kalau begitu sebagai kesimpulannya, asas zuhud itu terletak pada hati itu sendiri. Bukan berarti tidak ada dunia, bahkan ada dunia tetapi hatinya tidak terpaut dan pandai menggunakan dunia itu pada tempatnya seperti yang telah kita jelaskan, orang itu tetap bersifat zuhud. Sebaliknya kalau tidak ada dunia tetapi hatinya terpaut dengan dunia, tetap dianggap tidak zuhud.

Kisah Nabi Muhammad saw Menghidupkan Orang Mati

Mungkin kita sangat mengenal mukjizat Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati. Rupanya, Nabi Muhammad saw pun mendapatkan mukjizat tersebut. Sebagai Sayyidul Mursalin, tentunya Nabi Muhammad saw mendapat kemuliaan memperoleh semua mukjizat yang diberikan kepada Nabi-Nabi yang lain.

Berikut kisahnya:

Dalam kitab

Al-‘Ulum al-Fakhirah fi al-Nazhri fi Umur al-Akhirab, Sayyid `Abdurrahman bin Muhammad al Tsa`labi al-Ja`fari al-Maghribi, yang dimakamkan di Aijazair, mengemukakan riwayat Anas r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw berkata kepada Fari’ah, “Sesungguhnya anak laki-lakimu, Ibrahim, telah mati.” Fari’ah lalu berkata, “Sungguhkah,ya Rasululullah?” Nabi Muhamad saw menjawab, “Ya.” Fari’ah lalu berdoa, “Segala puji bagi Allah. Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku berhijrah kepadaMu dan kepada Nabi-Mu dengan harapan agar Engkau menolongku dalam setiap kesulitan. Oleh karena itu, jangan Engkau timpakan musibah ini atasku.” Nabi Muhammad saw membuka penutup wajah anak Fari’ah, kemudian anak itu hidup kembali dan makan bersama kami.

Mukjizat ini juga dituturkan oleh Ibnu Qattan dan `Iyadh dari Anas r.a. dengan redaksi, `Ada seorang pemuda dari golongan Anshar meninggal dunia. Ia mempunyai seorang ibu yang lemah dan buta. Kami mengafani jenazahnya dan menghibur hati ibunya agar sabar. Kemudian ibunya bertanya, `Benarkah putraku telah mati?’ Kami menjawab, `Ya.’ Ibunya lalu berdoa, `Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku benar-benar berhijrah kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.’ Kisah selanjutnya sama dengan hadis di atas. Riwayat lain dan Ibnu Qattan menceritakan bahwa ketika itu, Allah Swt. menghidupkan anaknya, lalu anak itu makan di hadapan Nabi Muhammad Saw.

Kisah tersebut juga saya kemukakan dalam bab IV kitab Hujjatullah ‘ala al-Alamin. Anas r.a. berkata, “Ketika kami sedang berada di beranda masjid di hadapan Nabi Muhammad Saw, datanglah seorang perempuan tua dan buta yang ikut hijrah membawa putranya yang telah baligh. Tak lama kemudian, putranya terkena penyakit yang scdang mewabah di Madinah. Anak itu sakit beberapa hari, kemudian meninggal dunia. Nabi Muhammad Saw. menutupkan mata anak itu dan memerintahkan kami untuk mempersiapkan pemakamannya. Ketika kami akan memandikannya, Nabi Muhammad Saw berkata, Anas, panggillah ibunya dan beritahukan kabar ini kepadanya.’ Aku memberitahu ibunya, ia datang lalu duduk di depan kedua kaki anaknya. Ia memegang kedua kaki anaknya, dan bertanya, ‘Benarkah anakku mati?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Ibu itu berdoa, ‘Ya Allah, Engkau tahu aku benar-benar telah menyerahkan diri kepada-Mu dengan sukarela, meninggalkan berhala-berhala dengan sungguh-sungguh, dan berhijrah kepada-Mu karena rasa cinta.Ya Allah, janganlah Engkau masukkan aku ke dalam golongan penyembah berhala, dan janganlah Engkau timpakan musibah yang tidak mampu aku pikul.’ Demi Allah, belum sempat ibu itu menyelesaikan doanya, kedua kaki anaknya bergerak-gerak dan menyibakkan pakaian yang menutupi wajahnya. Kemudian anak itu makan bersama kami dan Nabi Muhammad Saw. Anak itu hidup kembali sampai Nabi Muhammad Saw dan ibunya wafat.” (HR Ibnu ‘Adiy, Ibnu Abi Dunya, Al-Baihagi, dan Abu Na’im)

sumber: http://kawansejati.ee.itb.ac.id/fariah-al-anshariyah

Allahu Akbar, Nabi Akhir Zaman itu Masih Hidup Setelah Kewafatannya

Penjelasan bahwa Rasulullah Muhammad saw masih hidup setelah kewafatannya saya kutipkan dari kitab Tanwirul Halak karya Imam Suyuti ( selengkapnya bisa dibaca disini: http://kawansejati.ee.itb.ac.id/tanwir-al-halak )

Berikut kutipan dari Kitab Tanwirul Halak:

Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.”

Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mengatakan: “Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw hidup setelah wafatnya. Adalah beliau saw bergembira dengan ketaatan ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau membalas shalawat dari ummatnya.” Ia menambahkan, “Para nabi as tidaklah dimakan oleh bumi sedikit pun. Musa as sudah meninggal pada masanya, dan Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia shalat di kuburnya. Disebutkan dalam hadis yang membahas masalah mi’raj, bahwasanya Nabi Muhammad saw melihat Nabi Musa as di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrahim. Jika hal ini benar adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya.”

Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa para syuhada (orang yang mati syahid) setelah kematian mereka, mereka hidup dengan diberikan rejeki, dalam keadaan gembira dan suka cita. Hal ini merupakan sifat orang-orang yang hidup di dunia. Jika sifat kehidupan di dunia ini saja diberikan kepada para syuhada (orang yang mati syahid), tentu para nabi lebih berhak untuk menerimanya.

Benar, ungkapan yang mengatakan bahwa bumi tidak memakan jasad para nabi as. Hal itu terbukti bahwa Nabi Muhammad saw berkumpul dengan para nabi pada malam isra’ di Baitul Maqdis dan di langit, serta melihat Nabi Musa berdiri shalat di kuburnya. Nabi juga mengabarkan bahwa beliau menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya. Sampai hal yang lebih dari itu, di mana secara global hal tersebut bisa menjadi dasar penyangkalan terhadap kematian para nabi as yang semestinya adalah mereka kembali; gaib dari pada kita, hingga kita tidak bisa menemukan mereka, padahal mereka itu wujud, hidup dan tidaklah melihat mereka seorang pun dari kita melainkan orang yang oleh Allah diberikan kekhususan dengan karamah.

Abu Ya’la dalam Musnadnya dan al-Baihaqi dalam kitab Hciycitul Anbiyci’ mengeluarkan hadis dari Anas ra:

Nabi saw bersabda: “Para nabi hidup di kubur mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.”

Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra:

Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat di hadapan Allah SWT sampai ditiupnya sangkakala.”

Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan: “Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan, “Tidaklah seorang nabi itu tinggal di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat.”

Al-Baihaqi menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan, sesuai dengan Allah menempatkan mereka.

‘Abdur Razzaq dalam Musnadnya meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam, dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “Tidaklah seorang nabi mendiami bumi lebih dari empat puluh hari.”

Abui Miqdam meriwayatkan dari Tsabit bin Hurmuz al-Kufi, seorang syeikh yang shaleh, Ibn Hibban dalam Tarikhnya dan Thabrani dalam al-Kabir serta Abu Nua’im dalam al-Hilyah, dari Anas ra berkata:

Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang nabi pun yang meninggal, kemudian mendiami kuburnya kecuali hanya empat puluh hari.”

Imamul Haramairi dalam kitab an-Nihayah, dan ar-Rafi’i dalam kitab as-Syarah diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda

“Aku dimuliakan oleh Tuhanku dari ditinggalkannya aku dikubur selama tiga hari.”

Imam al-Haramain menambahkan, diriwayatkan lebih dari dua hari. Abui Hasan bin ar-Raghwati al-Hanbali mencantumkan dalam sebagian kitab-kitabnya:

“Sesungguhnya Allah tidak meninggalkan seorang nabi pun di dalam kuburnya lebih dari setengah hari.”

Al-Imam Badruddin bin as-Shahib dalam Tadzkirahnya membahas dalam satu bab tentang hidupnya Nabi saw setelah memasuki alam bnrzokh. Ia mengambil dalil penjelasan Pemilik syari’at (Allah) dari firmanNya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rejeki,” (QS. Ali ‘Imran: 169).

Keadaan di atas menjelaskan tentang kehidupan alam barzakh setelah kematian, yang dialami oleh salah satu golongan dari ummat ini yang termasuk dalam golongan orang-orang yang bahagia (sn’ada’). Apakah hal-ikhwal mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan Nabi saw? Sebab mereka memperoleh kedudukan semacam ini dengan barakah dan dengan sebab mereka mengikuti beliau, serta bersifat dengan hal yang memang selayaknya mereka memperoleh ganjaran kedudukan ini dengan syahadah (kesaksian), dan syahadah Nabi Muhammad saw itu merupakan paling sempurnanya syahadah.

Nabi Muhammad saw bersabda:

“Aku melewati Nabi Musa as pada malam aku dasra’kan berada di sisi bukit pasir merah, ia sedang berdiri shalat di kuburnya.”

Hal ini jelas sebagai penetapan atas hidupnya Musa as, sebab Nabi saw menggambarkannya sedang melakukan shalat dalam posisi berdiri. Hal semacam ini tidaklah disifati sebagai ruh, melainkan jasad, dan pengkhususannya di kubur merupakan dalilnya. Sebab sekiranya (yang tampak itu) adalah sifat-sifat ruh, maka tidak memerlukan pengkhususan di kuburnya. Tidak seorang pun yang akan mengatakan/berpendapat bahwa ruh-ruh para nabi terisolir (terpenjara) di dalam kubur beserta jasadnya, sedangkan ruh-ruh para su’ada’ (orang-orang yang bahagia/sentosa) dan kaum mukminin berada di surga.

Di dalam ceritanya, Ibn ‘Abbas menuturkan ra:

“Aku merasa tidak sah shalatku sepanjang hidup kecuali sekali shalat saja. Hal itu terjadi ketika aku berada di Masjidil Haram pada waktu Shubuh. Ketika imam takbiratul ihram, aku juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba aku merasa ada kekuatan yang menarikku; kemudian aku berjalan bersama Rasuhdlah antara Mekkah dan Madinah. Kemudian kami melewati sebuah lembah. Nabi bertanya, “Lembah apakdh ini?”Mereka menjawab, “Lembah Azraq.”Kemudian Ibn ‘Abbas berkata, “Seolah-olah aku melihat Musa meletakkan kedua jari telunjuk ke telinganya sambil berdoa kepada Allah dengan talbiyah melewati lembah ini. Kemudian kami melanjutlam perjalanan hingga kami sampai pada sebuah sungai kecil di bukit.” Ibn ‘Abbas melanjutkan kisahnya, “Seolah-olah aku melihat Nabi Yunus di atas unta yang halus, di atasnya ada jubah wol melewati lembah ini sambil membaca talbiyah.”

Dipertanyakan di sini, bagaimana Ibn ‘Abbas bisa menuturkan tentang haji dan talbiyah mereka, padahal mereka sudah meninggal? Dijawab: bahwasanya para syuhada itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan rejeki, maka tidak jauh pula, jika mereka haji dan shalat serta bertaqarrub dengan semampu mereka, meskipun mereka berada di akhirat. Sebenarnya mereka di dunia mi, yakni kampungnya amal, sampai jika telah habis masanya dan berganti ke kampung akhirat, yakni kampungnya jaza’ (pembalasan), maka habis pula amalnya. Ini pendapat dari al-Qadhi Iyadh.

Al-Qadhi Iyadh mengatakan bahwa mereka itu melaksanakan haji dengan jasad mereka dan meninggalkan kubur mereka, maka bagaimana bisa diingkari berpisahnya Nabi saw dengan kuburnya, jika beliau haji, shalat ataupun isra’ dengan jasadnya ke langit, tidaklah beliau terpendam di dalam kubur.

Kesimpulannya dari beberapa penukilan dan hadis tersebut, bahwa Nabi saw hidup dengan jasad dan ruhnya. Dan beliau melakukan aktivitas dan berjalan, sekehendak beliau di seluruh penjuru bumi dan di alam malakut. Dan beliau dalam bentuk/keadaan seperti saat sebelum beliau wafat, tidak berubah sedikit pun. Beliau tidak tampak oleh pandangan sebagaimana para malaikat yang wujudnya adalah ada dan hidup dengan jasad mereka. Jika Allah berkehendak mengangkat hijab tersebut terhadap orang yang Dia kehendaki sebagai bentuk anugerah dengan melihat Nabi, maka orang tersebut akan melihat beliau dalam keadaan apa adanya (seperti saat beliau hidup) dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dari hal tersebut serta tidak ada pula yang menentang atas pengkhususan melihat yang semisalnya.

‘Ala bin Hadhrami r.a, Tokoh Sufi Pejuang

3 kisah berkenaan dengan Ala bin Hadhrami r.a dari http://kawansejati.ee.itb.ac.id/ala-bin-hadhrami-r-a

Kisah 1

Abu Hurairah r.a. bercerita, ‘Aku melakukan perjalanan bersama `Ala’ bin Hadhrami dalam suatu rombongan, lalu aku melihatnya berperilaku aneh yang tidak masuk akal. Kami berhenti di tepi pantai, lalu ‘Ala’ berkata, `Sebutlah nama Allah dan terjunlah ke laut!’ Kami menyebut nama Allah lalu menceburkan diri ke laut. Kami menyeberangi laut itu, tetapi airnya hanya setinggi kaki unta kami. Dalam perjalanan pulang, kami sampai di padang sahara padahal kami sama sekali tidak memiliki air, maka kami mengadu kepada `Ala’. la melakukan shalat dua rakaat, lalu berdoa. Tiba-tiba langit gelap, kemudian hujan turun menyirami kami, sehingga kami bisa meminum airnya. Kemudian `Ala’ meninggal dunia, kami menguburkannya di hamparan tanah berpasir. Beln jauh kami melanjutkan perjalanan, kami khawatir ada binatang buas yang akan memangsa jenazahnya. Maka kami kembali, namun pusaranya sudah tidak ada.” (Riwayat Abu Na’im)

Dalam riwayat lain, Abu Hurairah menceritakan bahwa dalam suatu perjalanan, Ala’ menyeberangi laut dengan mengendarai kudanya. Ketika pulang, mereka sampai di sebuah padang sahara padahal mereka tidak memiliki air. `Ala lalu berdoa kepada Allah, tiba-tiba memancar sumber air dari bawah tanah berpasir. Mereka minum dan merasa segar kembali, lalu melanjutkan perjalanan. Salah seorang dari mereka ketinggalan barang bawaannya, maka ia kembali lagi, tetapi tidak menemukan sumber air itu. Kemudian `Ala’ meninggal dunia, padahal mereka tidak memiliki air. Tiba-tiba muncul mendung, lalu hujan turun. Mereka memandikan dan memakamkannya. Ketika mereka kembali ke tempat Ala dimakamkan, pusaranya sudah tidak ada. (Riwayat Ibnu Sa’ad)

Kisah 2

Alias r.a. bertutur, “Aku menemukan tiga keajaiban yang dimiliki umat Islam ini. Seandainya Bani Isra’il yang memiliki keajaiban itu, niscaya umat-umat lain tidak akan mengadakan perjanjian dengan mereka.” Salah satu keajaiban yang diceritakan Anas: ‘Umar bin Khattab mempersiapkan pasukan perang termasuk Anas dan mengangkat `Ala’ bin Hadhrami sebagai pemimpinnya. Selanjutnya mereka mendatangi medan peperangan, dan melihat musuh telah mempersiapkan strateginya dengan menutup saluran-saluran air. Hari teramat panas, mereka dan binatang-binatang mereka merasa kehausan. Menjelang matahari terbenam, mereka shalat dua rakaat. Kemudian ‘Ala’ bin Hadhrami mengangkat tangannya, padahal di langit tidak ada apa-apa. Sebelum ia menurunkan tangannya, Allah mengirimkan angin dan memunculkan mendung. Lalu turunlah hujan, sehingga tempat berbatu yang sulit dilewati juga celah di antara dua bukit penuh dengan air. Mereka minum dan membawa bekal minuman.

Kemudian mereka mendatangi musuh, tetapi musuh telah melintasi teluk menuju daratan di seberang laut. ‘Ala’ berhenti di atas teluk itu, lalu berdoa, “Wahai Zat Yang Maha Tinggi, Maha Agung, dan Maha Mulia.” Lalu berkata, “Seberangilah dengan menyebut asma Allah.” Mereka menyeberangi laut itu, airnya hanya setinggi kuku kaki binatang. Ala’ kemudian meninggal dunia, dan dimakamkan. Selesai dimakamkan, ada seorang laki-laki datang dan bertanya, “Siapa dia?” Mereka menjawab, “Manusia yang paling baik, putra Hadhrami.” Laki-laki itu berkata, “Daerah ini tidak bisa digunakan untuk mengubur jenazah, karena sering ada binatang buas yang menggali tanah untuk mencari makan. Sebaiknya kalian memindahkan jenazahnya ke daerah yang aman, satu atau dua mil dari sini.” Mereka khawatir ada binatang buas yang memangsa jenazah Ala, maka mereka sepakat untuk menggali makamnya, tetapi jenazahnya sudah tidak ada di sana lagi, dan mendadak liang lahatnya terlihat memanjang dan mengeluarkan cahaya berkilauan. Mereka mengurug makamnya kembali, lalu melanjutkan perjalanan.” (Riwayat Al-Baihaqi)

Kisah 3

Dalam kitab Al Aghani li Abi al-Faraj al-Ashbahani, kisah Ala’ bin Hadhrami diceritakan secara panjang lebar berdasarkan riwayat Muhammad bin Jarir. Munjab bin Rasyid (sahabat Rasulullah Saw) menuturkan kisah tersebut sebagai berikut, Abu Bakar mengutus Ala’ bin Hadhrami dan pasukannya unruk mcmerangi orang-orang murtad di Bahrain. Orang-orang muslim yang tidak murtad menyusul pasukan Ala’ sewaktu mereka, berjalan di padang terbuka. Ketika sampai di tengah-tengah padang itu, Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya kepada mereka. Ala’ turun dari kendaraannya dan menyuruh pasukannya untuk turun.

Di tengah malam, unta-unta mereka lari ketakutan sampai tak tersisa satu pun, dengan membawa semua perbekalan dan tenda yang belum sempat mereka turunkan dari punggung unta-unta itu. Mereka tidak mengerti sekelompok hewan apa yang menyerang unta-unta itu, tetapi tidak menyerang diri mereka. Mereka saling memperingatkan untuk tetap waspada, lalu pemberi aba-aba menyuruh mereka berkumpul. Ala’ kemudian berkata, “Apa yang telah menyerang dan mengalahkan kalian?” Orang-orang mengadu kepadanya, “Kita terjebak di tengah-tengah padang pasir tanpa air. Jika kita di sini sampai besok meskipun matahari tidak menyengat, maka kita hanya pulang tinggal nama.” Ala’ berkata, “Jangan takut! Bukankah kalian orang-orang muslim? Bukankah kalian berjuang di jalan Allah! Bukankah kalian penolong-penolong agama Allah?” Mereka menjawab, “Ya.” Ala’ berkata lagi, “Bergembiralah! Demi Allah, Allah Yang Maha Suci dan Maha Luhur tidak akan menelantarkan kalian dalam kondisi seperti ini.”

Seorang muazin kemudian mengumandangkan azan shalat subuh ketika fajar terbit. Ala’ shalat bersama pasukannya. Sebagian dari mereka bersuci dengan tayammum, dan sebagian lagi masih dalam keadaan suci. Selesai shalat, Ala’ berlutut diikuti oleh pasukannya.Aa berdoa dengan sungguh-sungguh begitu juga pasukannya. Kemudian mereka melihat fatamorgana. Belum selesai Ala berdoa, mereka melihat fatamorgana lagi. Komandan perang berseru, ‘Air.” Ala’ berdiri dikuti oleh pasukannya. Mereka mendekati air itu, lalu minum dan mandi. Matahari belum begitu tinggi, ketika unta-unta datang dari berbagai arah mendekati mereka. Setiap orang menunggang satu unta, sehingga tak satu pun yang berjalan. Setelah minum, mereka merasa puas dan segar kembali, lalu melanjutkan perjalanan.

Pada waktu itu, Munjab bin Rasyid berjalan bersisian dengan Abu Hurairah. Setelah jauh dari tempat itu, Abu Hurairah bertanya kepada Munjab, “Menurutmu, di mana sumber air yang tadi kita pakai?” Munjab menjawab, “Aku orang yang paling mengetahui daerah ini.” Abu Hurairah berkata, “Kalau begitu, mari kita kembali sampai kau bisa menunjukkan kepadaku sumber air tersebut.” Munjab dan Abu Hurairah kembali ke tempat itu, tetapi keduanya tidak menemukan kolam dan jejak air itu. Munjab berkata kepada Abu Hurairah, “Demi Allah, meski aku tidak melihat kolam air, aku yakin ini tempat kita tadi, dan aku tidak pernah melihat air di tempat ini sebelumnya.” Kemudian Abu Hurairah melihat sekeliling, tiba-tiba ada kantong kulit penuh dengan air. Abu Hurairah berkata, “Hai Sahm, demi Allah, inilah tempat itu. Mari kita isi kembali kantong kulit kita, lalu letakkan di tepi lembah.” Munjab menimpah, “Ini adalah anugerah dan tanda kekuasaan Allah.” Munjab meyakini hal itu, lalu memuji Allah.

Kemudian Ala dan pasukannya melanjutkan perjalanan, hingga tiba di tempat bernama Hijr. Pasukan muslimin berperang dengan orangorang kafir dan berhasil mengalahkan mereka di sana. Orang-orang kafir melarikan diri ke daratan di seberang laut. Mereka menyeberangi laut dengan menggunakan kapal. Allah mengumpulkan mereka di daratan tersebut. Ala’ memerintahkan pasukannya mengejar mereka, dan berkhutbah, ‘Allah Yang Maha Agung dan Perkasa telah membuat kalian nenghadapi pasukan setan dan perang yang berat pada hari ini. Dia telah memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kalian di daratan, agar kalian bisa mengambil pelajaran darinya untuk bisa menyeberangi laut ini. Bangkitlah untuk melawan musuh kalian, perlihatkan kepada mereka bahwa kalian bisa menyeberangi laut meski tanpa kapal, karena Allah juga telah mengumpulkan mereka di daratan tersebut.” Pasukannya menjawab, “Kami akan melakukannya, kami tidak akan takut. Demi Allah, kami telah berhasil menaklukkan padang sahara tadi maka kami yakin Allah akan menolong kami untuk menaklukkan lautan itu.”

Ala’ dan pasukannya melanjutkan perjalanan, sampai tiba di tepi laut. Mereka melintasi laut itu dengan naik kuda, beserta binatang angkutan, sekawanan unta, bagal, dan ada pula yang berjalan kaki. Ala membaca doa, “Wahai Zat Yang Maha Pengasih di antara Yang Pengasih, Yang Maha Mulia, Yang Maha Bijaksana, tempat berlindung, Yang Maha Hidup, Yang menghidupkan yang mati, Yang Maha hidup lagi Maha menegakkan, dada tuhan selain Engkau, wahai Tuhan kami.”

Mereka melintasi laut itu dengan izin Allah seperti berjalan di atas pasir, dan airnya hanya setinggi tapak kaki kuda. Laut itu biasanya ditempuh selama sehari semalam dengan naik kapal. Pasukan muslimin sampai ke daratan. Mereka tidak membiarkan satu orang musyrik pun lolos, menawan anak-anak, dan mengambil harta rampasan perang. Saat itu, pasukan berkuda kaum muslimin berjumlah 6000 orang dan yang berjalan kaki 2000 orang. Selesai perang, mereka pulang dengan menyeberangi laut seperti sebelumnya.

‘Atiq menyenandungkan syair tentang peristiwa ini:

Tidakkah engkau lihat Allah telah menundukkan laut-Nya
Dan menyerang orang-orang kafir dengan kekuasaan-Nya
Orang yang membelah lautan kembali datang kepada kami
Dengan keajaiban yang lebih mengagumkan daripada membelah lautan

Ala’ dan pasukannya pulang dari daratan itu kecuali orang-orang yang ingin tinggal di sana. Di Hijr, ada seorang rahib yang masuk Islam. Rahib itu ditanya, “Apa yang mendorongmu untuk masuk Islam?” Ia menjawab, ‘Ada tiga keajaiban pasukan muslimin yang telah aku saksikan, yakni munculnya banyak air di padang yang gersang, terbukanya jalan di lautan, dan doa mereka yang kudengar di udara seperti sihir. Setelah menyaksikannya, aku takut Allah akan memperburuk keadaanku bila aku tidak masuk Islam.” Orang-orang bertanya, “Doa apa itu?” Ia menjawab, “Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Pcngasih dan Penyayang, tiddatuhan selain Engkau, Yang Menciptakan scgala sesuatu yang sebelumnya tidak ada, Yang Maha Kekal dan tidak pernah lengah, Yang Maha Hidup dan tidak akan mati, Yang menciptakan sesuatu yang terlihat dan tak terlihat. Setiap hari ada karena kehendak-Mu. Ya Allah yang mengetahui segala sesuatu tanpa belajar. Aku yakin kekalahan kaum kafir adalah kehendak dan perintah Allah.” Sahabat-sahabat Rasulullah Saw mendengarkan doa yang diungkapkan seorang rahib dari Hijr itu

Perlukah Bertarekat?

mac Berkata:

orang harus bertarekat dunk??

padahal tarekat2 sdh termasuk dari golongan2 orang islam yg diisyaratkan nabi orang islam terpecah menjadi 73 golongan ,dan hanya satu yg selamat ahlussunnah wal jamaah, bisa kasih pencerahan mas?

Saya akan coba jawab pertanyaan ini. Semoga dengan berkat dan karomah guru saya, saya dapat memberikan penjelasan yang mudah dipahami.

Haruskah bertarekat?

Ya, setiap orang perlu bertarekat.

Mengapa?

Tarekat berasal dari kata ‘thariqah’ yang artinya ‘jalan’. Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diredhoi Allah s.w.t. Secara praktisnya tarekat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa.

Seperti yang sudah saya jelaskan dalam tulisan yang berjudul : Hidup Menurut Aturan Allah, manusia perlu menjalani Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat.

Syariat adalah peraturan lahir dan batin atau hukum Allah yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh hadis Rasulullah SAW. Hukum Syariat terdiri dari lima hukum, yaitu wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.

Untuk mudah dipahami, dapat kita kiaskan seperti orang yang hendak berjalan dari Bandung menuju Jakarta.

Peraturan, peta, dan segala ilmu mengenai bagaimana menuju Jakarta itu adalah SYARIAT.

Kemudian menjalani perjalanan dari Bandung ke Jakarta itu adalah TAREKAT.

Orang yang hendak ke Jakarta dari Bandung mesti tahu ilmu mengenai rambu-rambu lalu-lintas. Dia mesti tahu jalan yang perlu ditempuh untuk dapat sampai di Jakarta. Dengan kata lain, dia mesti tahu dan paham SYARIAT menuju Jakarta.

Kemudian, setelah dia punya ilmu bagaimana menuju ke Jakarta, maka ketika dia mulai berjalan menuju Jakarta maka dia telah menjalani apa yang disebut TAREKAT.

Nah, tarekat ini ada yang wajib dan ada yang sunat. Yang wajib seperti sholat 5 waktu, puasa ramadhan, membayar zakat bila telah mencapai nisab, berhaji bila mampu. Ilmu tentang itu semua disebut syariat, menjalaninya disebut tarekat.

Tarekat wajib ini memang semua orang wajib untuk menjalaninya.

Tarekat sunat, seperti tarekat naqsabandiah, tarekat qadiriah, tarekat aurad muhammadiah, dll (orang sekarang menyebutnya dengan istilah tarekat saja). Dalam tarekat sunat, kita mengamalkan disiplin wirid-wirid, shalawat-shalawat tertentu yang disusun oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung dengan Rasulullah saw dan dipimpin oleh seorang guru mursyid.

Ya namanya saja sunat, artinya ia tidak wajib. Meskipun tidak wajib, tetapi tarekat sunat ini membantu seseorang untuk istiqamah dalam beramal. Saya beri satu contoh sederhana.

Ada hadis yang menyebut bahwa Rasulullah SAW beristighfar minimal 70 kali sehari.

Dalam tarekat sunat, saya contohkan dalam tarekat Aurad Muhammadiah, seorang murid didisiplinkan oleh guru mursyidnya untuk memohon ampun 50 kali dalam setiap kali selesai sholat wajib. Artinya, dalam sehari pengamal tarekat Aurad Muhammadiah memohon ampun minimal 250 kali dalam sehari.

Bagi orang yang tidak mengamalkan tarekat sunat, tentu susah bagi dirinya untuk istiqamah dalam beristighfar minimal 70 kali sehari. Itu baru satu keuntungan dari mengamalkan tarekat sunat. Manfaat yang lain tentu banyak sekali. Mungkin saya akan bahas dalam kesempatan lain.

Tarekat terpecah menjadi 73 golongan?

Tarekat-tarekat yang haq, kesemuanya mempunyai mazab aqidah yang sama yaitu AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH. Jelas mereka bukan qadariah, bukan jabbariah, bukan muktazilah, dan lain-lain mazab aqidah. Dalam mazab fiqh pun tarekat-tarekat yang haq tadi ikut 1 dari 4 mazab fiqh yang masyur. Seperti dalam tarekat Aurad Muhammadiah, mazab fiqh Imam Syafi’i menjadi mazab yang dipegang dalam fiqh.

Sepatutnya Berterimakasih, tetapi….

Terimakasih Tuhan, Engkau bangunkan aku sekali lagi di pagi ini.

Terimakasih Tuhan, Engkau masih ijinkan mulutku untuk berdoa padaMu: “Segala Puji BagiMu Ya Allah, yang menghidupkan kami setelah Engkau matikan kami dan kepadaMu kami akan kembali”.

Terimakasih Tuhan, Engkau masih izinkan hamba berjalan menuju toilet.

Terimakasih Tuhan, Engkau masih alirkan air untukku bersuci.

Terimakasih Tuhan, bersih badanku siap untuk bermunajat padaMu.

Terimasih Tuhan, jantungku masih berdetak, nafasku masih naik dan turun.

Terimakasih Tuhan, Engkau rizkikan padaku baju, kain sarung, kopiah serta sajadah untuk menyembahmu.

Terimakasih Tuhan, atas hidayah yang Engkau limpahkan hingga aku masih suka menyembahmu dikala manusia tidur bermimpi.

Tuhan, dari aku bangun tidur hingga azan subuh bergema sepatutnya aku mengucap jutaan terimakasih padaMu. Tapi aku selalu lupa untuk berterimakasih padaMu, Ya Maulana. Sungguh, aku adalah hamba yang dzalim 😦

Oh Tuhan, ketika aku belum sibuk dengan urusan dunia (bangun tidur-azan subuh) aku senantiasa lalai dari mengingatiMu. Duh, betapalah lagi nanti ketika siang hari, ketika urusan dunia sudah menyibukkanku. Betapa aku akan lebih lalai lagi padaMu.

Memang, “inni kuntu minadzalimin” (sungguh aku adalah hamba yang dzalim).

Guru Mursyid dan Kecelakaan Ruhani

Jalan menuju Allah itu bersifat ruhaniah. Mata lahir dan akal tidak akan mampu melihat jalan ini. Yang mampu melihatnya hanyalah ruh atau hati yang bersih.

Saudaraku, sudah menjadi pengalaman kita, bahwa di jalan raya yang bersifat material banyak terjadi kecelakaan. Padahal, jalan raya yang bersifat material itu, mata lahir kita bias melihatnya.Jalan raya itu juga dilengkapi dengan berbagai rambu lalu-lintas. Tetapi kecelakaan berlaku setiap hari. Ada yang tabrakan, ada yang serempetan, ada yang masuk jurang, ada yang terguling dan berbagai macam kecelakaan bias terjadi di jalan yang begitu jelas terlihat dengan mata kepala kita.

Belajar dari pengalaman ini, tentu kita dapat dengan mudah memahami kenyataan betapa susahnya menempuh jalan ruhani (jalan menuju Cinta Agung). Berbagai macam kecelakaan ruhani menimpa kita setiap harinya.

Coba kita review kembali kecelakaan-kecelakaan ruhaniah yang menimpa kita tiap hari.

  • ada perempuan lewat, mata kita tak berkedip.
  • Di uji oleh Allah dengan kehilangan barang kesayangan, rumah terbakar, hendak menikah ternyata ditinggal kawin oleh calon suami/istri, dll maka kita pun complain dengan Allah. Kita tak puas hati dengan ketentuan Allah. “mengapa itu harus terjadi padaku?”
  • Bila mendapat nikmat, sombong, berbangga hati, tidak bersyukur.
  • Dalam majlis pertemuan resmi dengan Allah (sholat) tidak melahirkan rasa takut, tidak terasa hebatnya Allah. Tetapi bila ketemu dengan presiden tersa takut dan terasa kuasa presiden sehingga kita begitu menjaga adab bila ada pertemuan dengan Presiden.
  • Apabila berdakwah, kemudian dipuji orang maka hati pun berbunga (termasuk lah menulis blog kemudian dipuji postingannya bagus-bagus, maka hatinya berbunga-bunga)

Nah, saking seringnya kita mengalami kecelakaan ruhaniah ini, maka kita perlu pimpinan dari orang yang mampu melihat dan paham jalan ini (jalan ruhaniah menuju Allah). Orang ini disebut guru mursyid. Guru mursyid sangat diperlukan oleh setiap manusia dalam perjalanan ruhani menuju taqwa. Dia dapat memimpin di bidang ilmu, akal atau hati, lahir maupun batin dan dalam semua hal sehingga hidup manusia dapat tertuju kepada Allah. Guru mursyid Allah beri anugerahkan ilmu-ilmu yang luar biasa, ilmu lahir juga ilmu batin.

Karena pentingnya guru mursyid ini, Imam Malik pernah berkata: “Barangsiapa yang tidak mempunyai guru mursyid maka syaitanlah yang akan menjadi gurunya.”

Orang yang bisa memimpin hati/ruhani (guru mursyid), hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu orang yang mempunyai basyirah. Bukan sekadar akalnya yang terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tetapi sangat sedikit orang yang hatinya terbuka. Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain.

Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Setelah dia bertemu dengan guru mursyid yang layak, maka lahir dan batinnya perlu diserah kepada guru mursyid itu.

 

Mengenal Allah Dengan Hati

Sebenarnya yang disebut kenal Tuhan adalah kita kenal Tuhan dengan ruh atau hati. Cara cepatnya dengan mencari wasilah dengan berkat, tawasul dan doa. Orang yang tidak ada ruh dalam beribadah (ibadah tidak dihayati/ lalai), ia berdosa. Ketika mengadap Tuhan, hati ke mana-mana, tidak terasa kekuasaan Allah. Seolah-olah dalam majlis raja, buat kerja lain. Sebab itu orang yang bertaqwa, waktu dia mengadap Tuhan hatinya tersentuh, selalu merasa cemas tidak beradab dengan Tuhan. 

PERBEDAAN RASA BERTUHAN DAN BERPIKIR TENTANG TUHAN

Perasaan yang dimiliki oleh manusia, seperti rasa malu, rasa jijik timbul secara otomatik dan tidak dipaksa untuk merasakannya. Perasaan itu timbul begitu saja, ketika berhadapan dengan kotoran timbul rasa jijik, ketika berhadapan dengan harimau timbul rasa takut.

Merasa adalah kerja ruh. Perasaannya bertukar berdasarkan apa yang dilihat. Kalau lihat makanan rasa ingin, kalau melihat cacing rasa jijik. Begitulah perasaan itu selalu silih berganti. Begitu jugalah dengan rasa bertuhan. Kalau kita tidak kenal Tuhan, akan sukar untuk menimbulkan rasa bertuhan. Walaupun kita memiliki ilmu tentang Tuhan berkuasa, Tuhan memberi ilmu dan lain-lain lagi, tidak terasa Tuhan itu Maha Pelindung dan Penyelamat, Maha mengetahui dan seterusnya.Tetapi kalau kita tahu Tuhan berkuasa dan memahami bagaimana kuasa Tuhan itu, barulah sedikit banyak merasakan Tuhan berkuasa. Misalnya untuk merasakan pentingnya oksigen yang telah Allah beri dalam kehidupan kita. Kita tutup hidung, tentu tak lama kita dapat bertahan.

Bila orang yang tak ada rasa takut dengan Tuhan, seperti kisah seorang ibu yang membawa anaknya masuk ke tengah hutan. Sampai di rumah dia ceritakan pada ibunya dia bertemu dengan singa, yang dia katakan cantik dan dia pun belai-belai. Begitulah keadaan seorang anak yang tidak kenal dengan harimau, dia tidak ada rasa takut. Tetapi berbeda dengan dengan ibu yang telah kenal dengan harimau, tentu akan timbul rasa takut dan bimbang dengan keselamatan anaknya ketika mendengar cerita anaknya tentang perjumpaan dengan harimau.

Jadi untuk orang yang belum ada rasa, maka disuruh untuk berpikir. Sebagai latihan kalau kita melihat ciptaan Tuhan seperti gunung, sungai, laut, burung dan lain-lain, kita cuba kaitkan dengan Tuhan. Itulah yang disebut tafakur. Bila latihan selalu dilakukan, maka satumasa akan terasa secara otomatik, seperti perasaan-perasaan yang lain.

Bedanya dengan para sasterawan yang jiwanya halus, tetapi jika tidak dikaitkan dengan Tuhan, maka bila melihat gunung yang terasa betapa hebatnya gunung. Bila melihat laut yang terasa betapa hebatnya laut. Sebab itu mereka seperti orang yang tidak siuman, asyik dengan diri sendiri. Jadi di tahap awal yang perlu dilakukan adalah berpikir tentang ciptaan Tuhan. Tetapi lama kelamaan, bila sudah kenal Tuhan maka akan datang perasaan-perasaan yang berkaitan dengan Tuhan secara otomatik, seperti rasa takut, bimbang, cemas dll.

Sebab itu orang-orang yang hatinya sudah sentiasa merasakan wujudnya Tuhan, maka akan timbul rasa mabuk.


Mata Kepala, Mata akal dan Mata hati

Dalam kita merasakan kebesaran Tuhan, mata kepala sebagai muqaddimah (pendahuluan) untuk penglihatan selanjutnya. Adanya gunung, laut, sungai dan lain-lain terlihat wujudnya dengan pandangan mata kepala. Setelah pandangan mata melihat wujudnya sesuatu, kalau mata akal kita hidup maka akan tergerak untuk berpikir. Bila akal berpikir, ertinya akal melihat, itulah akal yang hidup, akal yang jaga. Kalau hanya mata kepala melihat, hasilnya sedikit bahkan kadang tertipu, misalnya lihat gunung dari jauh cantik, hijau, padahal setelah dekat tidak seperti itu.

Apa yang dilihat oleh mata kepala, kalau akal kuat memikirkannya, maka akan mendapat ilmu. Kalau melihat benda yang hijau, akal melihat atau buat kajian. Tetapi yang lebih halus lagi, akal dapat melihat benda bukan hanya yang lahir, bahkan juga ada sistem. Itulah yang dapat dikaji oleh ahli ilmu pengetahuan (saintis). Sebab itu bila akal bertambah tajam makin banyak rahasia alam yang dia dapatkan.

Di sinilah perlunya mata hati. Kalau pikiran tidak didasarkan dengan ruh (mata hati) maka akan semakin membutakan hati. Ketika mata melihat, kemudian akal berpikir, mesti berasaskan ruh, supaya makin banyak berpikir, manusia makin terasa kehebatan Tuhan. Makin terlihat kehebatan ayat-ayat Tuhan. Bila kita sudah sering melakukan itu maka secara otomatik bila mata melihat sesuatu, hasilnya akan dapat melihat kebesaran Tuhan. Setelah itu tak perlu berpikir lagi dalam melihat kebesaran Tuhan, langsung terasa ke dalam jiwa.

Bagaimana dalam bekerja selalu ingat Allah

Kalau pengaruh kebesaran Allah sudah sangat terasa ke dalam jiwa kita maka kita berbuat apa saja selalu ingat dengan Allah. Misalnya bila kita sedang makan tiba-tiba ada harimau, apakah rasa ingin makan masih ada ? Tentu rasa takut dengan harimau lebih besar mempengaruhi jiwa kita daripada rasa ingin makan. Contoh lain, bila kita sayang dengan anak bungsu tiba-tiba dipisahkan tentu akan terkenang selalu. Begitu juga sang anak, bila ibunya di rumah sakit, walaupun dia berada di rumah tentu hatinya teringat dengan ibunya.

Kalau ingat Allah itu masih di akal, ketika kita berpikir hal lain, maka ingatan kepada Allah akan hilang. Sebab itu Allah mesti dirasakan dengan hati, sehingga walaupun akal berpikir hati selalu terkenang dengan Allah. Orang yang mabuk dengan Allah, hingga tidur pun masih terbawa rasa bertuhan. Walaupun fisiknya tidur, tapi ruhnya bekerja. Seperti seorang wali Allah, dalam tidur dia bertahlil.

Susahnya Mengubah Perangai Manusia

Mengubah gunung lebih mudah daripada mengubah perangai manusia. Kita lihat bagaimana Freeport saja dalam waktu kurang dari 30 tahun mampu mengubah bukit menjadi lembah 🙂. Mengubah hutan yang lebat menjadi pekan atau Bandar itu pun lebih mudah daripada mengubah tabiat seorang manusia. Mengubah laut menjadi daratan juga masih lebih mudah daripada mengubah sifat jahat manusia menjadi baik.

Dunia ini lebih mudah diubah daripada penghuninya di kalangan manusia. Kita lihat diri kita, sejak kecil kita pemarah. Sampai sekarang pun kita masih pemarah. Waktu kecil kita bakhil, sampai sekarangpun kita masih bakhil. Padahal kita tahu bakhlil itu sifat jahat. Begitulah penglaman kita mendidik diri kita dan diri orang lain di sekitar kita. Padahal, dalam waktu yang sama dunia di sekitar kita sudah berubah dengan pesatnya.

Karena itulah Allah datangkan Nabi dan Rasul untuk mendidik manusia (di zaman masih ada Nabi dan Rasul). Setelah zaman ketiadaan nabi dan Rasul, Allah utus ulama yang berwatak rasul alias ulama pewaris Nabi. Ulamam yang mewarisi segala sifat dan sikap Nabi. Akhlaknya, kepemimpinannya, keberaniannya, berhikmahnya, teladannya, semuanya mewarisi sifat-sifat Rasul.

Dari fakta sejarah dan pengalaman kita, kita bias simpulkan bahwa untuk membangun peradaban lahiriah siapa saja bisa melakukannya. Bila sarat-saratnya terpenuhi, kemajuan lahiriah di dunia kan bias dicapai. Akan tetapi, untuk membangun insaniah manusia diperlukan pemimpin yang bukan calang-calang pemimpin. Bukan sembarang pemimpin bias mengubah dan mendidik insaniah manusia. Insaniah manusia hanya mampu didik oleh pemimpin dan guru yang bertaqwa.

7 Peringkat Zalim

“Tuhan (Allah) tidak menzalimi mereka itu (maksudnya manusia), tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (Ar Rum: 9)

Ketika berbicara mengenai zalim, maka zalim itu berperingkat-peringkat. Tulisan ini akan membahas mengenai 7 peringkat zalim yang dilakukan oleh manusia.

1. Zalim dengan Tuhan.

Zalim dengan Tuhan meripakan penzaliman peringkat tertinggi, tak ada yang lebih tinggi. Apa arti zalim dengan Tuhan? Tidak kenal Tuhan atau syirik dengan Tuhan, tidak takut dengan Tuhan, tidak cinta dengan Tuhan, tidak peduli dengan Tuhan, hidup ini tidak dihubungkan dengan Tuhan.

Setiap hari kita zalim dengan Tuhan tetapi hal ini jarang terpikir oleh kita. Hidup kita sehari-hari tidak peduli Tuhan. Padahal, dalam Al Quran Allah berfirman: “iqra bismi rabbika” Bacalah atas nama Tuhanmu.

Jadi, ketika hendak melakukan apa saja buatlah atas nama Tuhan. Berjuang, membangun, berekonomi, mendidik, berbudaya, mengurus, dll mesti atas nama Tuhan. Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan mesti dikaitkan dengan Tuhan, mesti ada hubungan dengan Tuhan. Kalau tidak, kita telah melakukan penzaliman yang paling tinggi.

2. Zalim dengan Fisik Pemberian Tuhan

Melihat dengan mata mesti atas nama Tuhan. Mendengar, berbicara, bertindak, gunakan tangan, kaki mesti atas nama Tuhan. Artinya, tindakan fisik kita selaras dengan kehendak Tuhan. Jangan sampai mata, telinga, mulut tangan, kaki mendurhakai Tuhan. Semua gerak gerik kita jangan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kalau berlaku kita melakukan penzaliman peringkat ke-2.

3. Zalim dengan Harta Karunia Tuhan.

Harta milik Tuhan, Tuhan bagi pada kita. Ada yang dapat sedikit, miskinlah dia. Ada pula yang mendapat banyak hingga menjadi milyader. Harta yang Tuhan bagi kepada kita janganlah digunakan sedikitpun selain karena Tuhan. Mesti selaras dengan kehendak Tuhan. Sebab yang kita miliki itu milik Tuhan. Harta itu tidak boleh kita gunakan sesuka hati, mesti ikut cara Tuhan, baik disebut zakat, sedekah. Kalau tidak kita buat penzaliman yang ke-3.

4. Zalim kepada manusia lain.

Zalim kepada manusia lain seperti: memukul, mengata, menjatuhkan, mempermalukan dimuka umum, menghina, memfitnah, mencuri. Zalim yang ada hubungannya dengan manusia lain ini yang dibesarkan setiap hari. Zalim peringkat tertinggi sepi-sepi saja. Jenis yang kedua juga tidak pernah diperbincangkan, yang ke-3 juga kurang diperkatakan oleh orang. Tetapi, yang ke-4 ini yang sering dibicarakan orang.

“Tidak sepatutnya dia memukul saya”

“Mengapa dia menebarkan fitnah mengenai saya”

Zalim jenis ini setiap hari dihebohkan. Sehingga, perkataan zalim sudah dipersempit maknanya.

5. Zalim dengan Jabatan Yang diemban.

Jabatan ada bermacam-macam. Mungkin dia Presiden, Gubernur, Menteri, Dirjen, Irjen, Kasubdit, Kabag, dll. Jabatan-jabatan ini kalau tidak diemban selaras dengan kehendak Tuhan maka dia dikatakan zalim.

Zalim dengan jabatan ini juga selalu dibesar-besarkan orang. Nampak Presiden zalim. Gubernur zalim. Yang terlihat adalah jabatan yang besar-besar. Kalau jabatan-jabatan yang dibawah, jarang disebut orang mengenai kezalimannya. Sekecil apapun jabatan, mesti selaras dengan kehendak Tuhan. Kalau tidak selaras dengan kehendak Tuhan, itulah zalim.

6. Zalim dengan ilmu.

Soal ilmu ini, ada yang dapat banyak ilmu ada pula yang dapat sedikit. Baik yang dapat banyak ilmu ataupun yang dapat sedikit ilmu, kalau ilmu tersebut digunakan bukan untuk Tuhan alias untuk kepentingan diri, itulah zalim.

Di zaman ini orang banyak yang menyalahgunakan ilmu ( bahkan ILMU ISLAM ! ) bukan untuk Tuhan tapi untuk duit, kemegahan, nama, dan jabatan. Itulah zalim. Namun, tentu saja hal ini tidak pernah masuk surat kabar. Orang yang menggunakan ilmu untuk kepentingan diri tidak terfikir kalau dirinya zalim. Bahkan, saat ini orang yang megah dan sombong dengan ilmu tidak dikatakan zalim lagi. Bahkan orang menganggap dia memiliki wibawa. Sombong dengan ilmu, “hebat, orang ini memiliki ilmu”. Aneh sekali, durhaka dengan Tuhan dan hendak masuk neraka dikatakan memiliki wibawa?

7. Zalim dengan ruh/perasaan.

Hari ini, tidak ada orang yang menyebut-nyebut mengenai zalim jenis ini. Surat kabar, radio, TV juga tidak pernah menyebutkannya. Sepatutnya ruh atau perasaan kita adalah untuk Allah, untuk cinta dan rindu pada utusan Allah, Nabi Muhammad saw

Hari ini apa yang orang rasa:

“aduh sakit, kapan ya sehatnya?”

“sedihnya hidup miskin dan melarat, kapan bisa kaya”

“Istriku kok tidak menyayayangiku ya?”

Perasaan sepatut diberi pada Tuhan. Tapi perasaan sudah disalahgunakan, sedih karena sakit, susah karena miskin, susah karena istri yang kurang menyayangi. Ini juga zalim. Sepatutnya perasaan sedih kita itu sedih dengan dosa-dosa kita. Perasaan susah kita itu karena kita tidak bisa menolong orang. Perasaan cinta dan rindu itu terutama pada Nabi Muhammad saw, manusia yang paling utama dan paling agung. Itu namanya menggunakan perasaan seperti kehendak Tuhan.

Zalim ini luas sekali maknanya. Sayang, orang hanya membesarkan yang no 4. Sebab itu ada ayat Qur’an yang maknanya,

Jangan engkau campakkan diri engkau dalam kebinasaan.” (Al Baqarah : 195)

Ayat ini ditujukan ditujukan kepada orang yang tidak mendermakan harta mereka. Orang yang tidak bersedekah artinya mencampak diri dalam Neraka, itulah zalim. Orang yang tidak berkorban harta dianggap zalim. Tapi zalim yang paling top adalah orang yang tidak kenal Allah, tidak takut Allah, tidak cinta Allah serta melupakan utusan Allah, yakni Nabi Muhammad saw.

Kalau kita bahas, zalim peringkat teratas itu ada dalam diri kita. Kalau tidak selalu, sekali sekala kita buat juga kezaliman yang paling besar ini. Kalau orang paham zalim pada Tuhan begitu luas, ia tidak akan bergaduh. Walaupun orang zalim pada dia, dia tidak nampak kezaliman orang itu padanya, karena kita sendiri zalim pada Tuhan. Namun, karena yang besar tidak nampak, yang nampak bentuk kedzaliman yang lain. Kezaliman yang lain itulah yang akhirnya yang dibesar-besarkan.