Antara Zuhud dan Cinta Dunia

Pengertian Zuhud

Kata zuhud apabila dilihat menurut bahasa artinya meninggalkan dunia. Sedangkan takrif istilah Islam, arti zuhud adalah hati tidak terpaut atau tidak terpengaruh dengan dunia dan segala nikmatnya. Pengertian menurut syariat ini yang akan menjadi dibahas di sini karena zuhudyang sesuai syariat disukai oleh Allah dan Rasul. Hal itu juga termasuk dalam sifat-sifat mahmudah.

Jika pengertian zuhud seperti itu, tidak semestinya orang yang zuhud itu tidak memiliki dunia atau mesti meninggalkan segala nikmat dunia. Boleh jadi nikmat dunia yang dia dimiliki lebih banyak dari orang lain atau dia mengendalikan banyak urusan dunia. Namun, dunia yang melimpah itu, yang dimiliki atau yang dikendalikannya itu tidak mempesona dirinya. Dunia yang melimpah itu tidak sedikit pun jatuh ke hatinya. Bahkan baik dunia itu ada atau tidak, sama saja padanya.

Dia memiliki dunia serta mentadbirnya adalah dengan tujuan agar dunia itu dijadikan alat untuk memudahkan beribadah kepada Allah SWT dan berkhidmat sesama manusia. Dunia yang dimilikinya itu dijadikan jambatan untuk ke Akhirat. Ini sesuai pula dengan tuntutan ajaran Islam yang dinyatakan dalam hadis Nabi Muhammad saw:

Maksudnya: “Dunia itu adalah tanam-tanaman untuk Akhirat.” (Riwayat Al ‘Uqaili)

Itulah Islam. Islam mengajar atau mendidik kita bahwa dunia itu boleh diambil tetapi biarlah ia dapat dijadikan modal untuk beribadah kepada Allah dan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya kepada manusia.

Demikianlah, supaya dengan itu memudahkan seseorang itu untuk mendapatkan pahala sebanyak- banyaknya agar dia memperoleh nikmat Syurga di Akhirat. Siapa yang menjual dunianya untuk Allah atau untuk Akhiratnya, maka Allah akan beli dengan bayaran yang berlipat ganda, jauh lebih tinggi nilainya. Yaitu digantikan dengan nikmat Syurga yang kekal abadi dan terhindar daripada siksa Neraka yang amat azabnya.

Persoalannya sekarang, bagaimana hukum dan cara kita mengambil dunia ini? Dan bagaimana cara mengendalikan dunia ini setelah realitinya ia berada di hadapan kita?

Pada saya ada beberapa kategori yaitu:

1. DUNIA YANG WAJIB

Dunia yang wajib diambil selagi ia halal ialah sekadar keperluan asas saja. Yang tidak boleh tidak (dharuri), yang mesti ada seperti tempat tinggal, makan minum, pakaian dan lain-lain. Kalau tidak diambil akan berlaku kecacatan di segi syariat atau di sudut fisik. Siapa meninggalkannya, haram hukumnya kecuali setelah diusahakan tidak behasil memperolehnya. Ini tidak menafikan zuhud.

2. DUNIA YANG SUNAT

Dunia yang sunat diambil ialah perkara yang digunakan (selagi halal) untuk kemudahan di dalam menunaikan tanggungjawab yang wajib serta digunakan untuk menghasilkan perkara yang tidak boleh tidak. Seperti kenderaan yang perlu, alat-alat rumah yang memudahkan menjalankan tugas rumah tangga seperti dapur gas, pinggan mangkuk, periuk, dulang, mesin cuci, mesin jahit dan lain-lain.

Agar dengan itu tidak membuang waktu yang banyak. Dan memudahkan menjalankan tanggungjawab. Bahkan adakalanya menjadi wajib aradhi (wajib mendatang). Kalau tidak ada alat-alat itu maka urusan yang wajib menjadi terkendala. Ini juga tidak menafikan zuhud. Perlu diingat, keperluan seseorang antara satu sama lain tidak sama. Maka sudah tentu alat-alat keperluan tidak sama. Sebagai contoh, alat-alat keperluan seorang guru sudah tentu tidak sama dengan alat-alat keperluan seorang petani. Kiaskanlah yang lain-lainnya.

3. DUNIA YANG HARAM

Dunia yang haram wajib ditolak seperti arak, uang judi, suap, hasil riba, hasil zina, tipu, rompak dan lain-lain. Ini karena perbuatan yang haram itu akan membawa ke Neraka.

4. DUNIA YANG MAKRUH

Dunia yang makruh diambil yaitu harta-harta yang syubhat. Yakni perkara-perkara yang samar-samar bercampur antara yang halal dan yang haram, yang tidak dapat dipastikan yang mana halal dan yang mana haram. Maka hukumnya makruh. Bagi orang yang warak, dia terus meninggalkannya. Sesiapa yang terlibat dengan harta syubhat ini ternafilah zuhudnya karena ia dibenci.

5. DUNIA YANG MUBAH

Dunia yang mubah (harus) diambil yaitu yang berbentuk untuk bersedap-sedapan, untuk kenyamanan seperti kursi yang mewah, buaian, kursi istirahat, tilam, tempat tidur yang mahal, kamar yang agak luas dari kadar biasa tetapi tidak keterlaluan besarnya, kenderaan yang mewah dan lain-lain, selagi halal. Cuma hisabnya banyak dan ia juga menafikan zuhud.

6. PEMUBAZIRAN

Perkara yang halal sekalipun, kalau digunakan terlalu berlebih-lebihan, sudah melebihi batas kenyamanan dan bersedap-sedap, ini sudah dianggap pemubaziran. Sedangkan pemubaziran adalah haram di sisi Allah. Dalam Al Quran pemubaziran itu dianggap sebagai kawan syaitan. Firman-Nya:

Maksudnya: “Sesungguhnya orang yang membazir itu adalah saudara kepada syaitan.” (Al Israk: 27)

Jadi, jika kita dapat menggunakan atau mengendalikan dunia yang dimiliki, yang tidak menafikan zuhud yaitu cara yang pertama dan kedua (dunia yang wajib dan sunat), ia masih dikatakan zuhud.

Dalam Islam, kalau seseorang itu mengambil dunia sekadar yang perlu dan untuk kemudahan atau paling tidak untuk kenyamanan, kemudian selain dari itu, dia tidak mau mengusahakannya karena kurang yakin dia boleh amanah dalam menggunakan dunia itu untuk Allah dan masyarakat, maka tidak salah dia berbuat demikian.

Demikianlah sebaliknya, kalau seseorang itu yakin dia dapat berlaku amanah pada dirinya terhadap dunia atau dapat mengendalikan dunia untuk Allah dan masyarakat dengan sebaik-baiknya, yakni dia yakin dapat berbuat kebaikan dan kebajikan yang banyak serta dapat bersyukur, maka tidak mengapa dia berusaha mencari kekayaan selagi halal. Padanya boleh berbuat demikian. Ini juga tidak menafikan zuhud.

Sebagai contoh: Katalah dunia itu ialah jabatan tinggi. Kita tidak yakin dengan jabatan itu kita boleh berlaku amanah terhadap Allah dan masyarakat, maka tidak salah kalau kita menolak jabatan tersebut. Sebaliknya, kalau kita yakin dengan jabatan itu kita dapat amanah dengan Allah dan masyarakat, maka tidak salah pula kita mengambilnya. Kalau harta, kita dapat mengambil sebanyak yang bisa didapat. Oleh karena itu kita perlu menghadapi dunia ini dengan iman dan taqwa agar dapat diurus dengan penuh amanah dan rasa tanggungjawab.

Perlu rasanya saya ingatkan, jika berlaku dalam satu masa atau satu zaman, secara umum masyarakat Islam tidak dapat melaksanakan fardhu kifayah; menyediakan keperluan makan minum yang halal, membangunkan tempat-tempat pendidikan, membeli persenjataan untuk melawan musuh-musuh, memberi beasiswa pada anggota masyarakat yang pandai supaya berilmu di berbagai bidang yang menjadikan masyarakat tidak bergantung kepada orang lain; maka bagi orang yang mampu di waktu itu, wajib aradhi dia mengusahakan hingga terlaksananya fardhu kifayah tadi. Kalau tidak, akan menjadi satu kesalahan pada mereka.

Juga diingatkan, apabila berzuhud jangan sampai kita atau Islam terhina. Ini dilarang kecuali kita memang tidak mampu walaupun sudah berusaha untuk mengadakan keperluan-keperluan yang asas. Di waktu itu tidak mengapa dan kita perlu bersabar. Jadi, kita perlu memahami sungguh-sungguh akan pengertian zuhud ini. Kalau tidak, jadilah kita orang yang mewah tidak bertempat atau miskin sampai terhina atau bermewah-mewah di sebarang tempat.

Maksudnya begini; untuk dapat mengekalkan zuhud mesti dilakukan beberapa cara. Di antaranya:

Mewah mesti tepat pada tempatnya. Contoh, kalau makan kenduri atau makan berjemaah, dibenarkan kita bermewah-mewah lauk-pauknya. Tetapi kalau kita makan seorang, eloklah berzuhud.

Miskin itu tidak dilarang tetapi tidak dibenarkan sampai tidak mencukupi keperluan-keperluan asas. Jadi dibenarkan miskin asal cukup keperluan asas.

Bermewah-mewah tidak boleh di sebarang tempat yakni di waktu orang semuanya miskin, tidak dibenarkan kita bermewah-mewah. Agar kekayaan itu dapat disalurkan kepada orang miskin.

Secara ringkasnya, kita boleh mengambil dunia ini tetapi perlu pertimbangkan mengikut ukuran semasa atau individu atau jemaah atau kumpulan atau pemimpin atau mengikut tanggungjawab serta tugas-tugas yang dipikul oleh seseorang dan lain-lain

Contoh: Mengikut ukuran semasa yang tidak menafikan zuhud:

Di zaman ini untuk efisiensi waktu, tenaga dan lain2, perlu naik kendaraan kapal terbang untuk perjalanan yang jauh, bukan pakai dokar yang ditarik sapi atau kuda atau naik mobil.

Di zaman modenr ini untuk berhadapan dengan musuh-musuh, perlu kita gunakan senjata-senjata canggih bukan lagi menggunakan keris.

Contoh: Mengikut ukuran kumpulan atau jemaah yang tidak menafikan zuhud:

Tidak salah bagi orang yang berjuang yang senantiasa sibuk, demi efisiensi waktu, tenaga dan lain-lain serta karena selalu didatangi tetamu, maka di rumahnya dilengkapi dengan kulkas, dapur gas, mesin cuci dan parabot untuk kemudahan lainnya. Tidak salah juga menyediakan permadani di rumah, di kantor dan di masjid selagi halal dengan tujuan menghormati tetamu atau kepentingan umum. Bahkan di negeri-negeri dingin, menyediakan permadani di rumah dan di masjid sudah menjadi wajib aradhi pula.

Bahkan melengkapi alat-alat kemudahan ini sudah jadi perlu bagi orang yang berjuang yang masanya terbatas. Kalau terlalu lama masa dihabiskan untuk mencuci misalnya, ini dikira termasuk pemubaziran waktu, tenaga dan lain-lain. Sedangkan waktu itu sepatutnya lebih baik digunakan untuk pengurusan hal-hal yang lebih perlu. Katalah contohnya, dengan adanya mesin cuci, kita ada waktu lebih untuk melayan suami terutama kalau suami kita pulangnya pun hanya sekali-sekala. Boleh juga diniatkan sewaktu mesin cuci itu bekerja, kita dapat istirahat atau tidur, dengan tujuan dapat bangun sembahyang malam. Kecuali untuk orang perseorangan yang tidak berjuang atau tidak ada tanggungjawab menyediakan kemudahan-kemudahan ini, dia tergolong orang yang tidak zuhud sebab kalau diberi kemudahan dia akan santai saja. Mungkin tidur baring saja atau duduk-duduk berbual kosong atau menjadikan dia berlalai-lalai. Ini menjadikan dia cinta dunia.

Berbeda dengan orang yang berjuang, yang waktunya terbatas, banyak tanggungjawab dan senantiasa bergerak cepat. Kalau tidak ada alat-alat kemudahan ini, ia akan melambatkan atau mengganggu program-program yang lain. Atau banyak tanggungjawab tidak dapat dilaksanakan.

Contoh lain: Mengikut ukuran pemimpin yang tidak menafikan zuhud. Bagi seorang pemimpin, penting padanya keperluan alat-alat kemudahan yang canggih seperti mobil, telefon, faks, komputer, perbelanjaan perjalanan dan lain-lain lagi. Kalau tidak ada kemudahan alat-alat tadi, sudah tentu terkendala perjuangannya.

Juga diingatkan, kalau duit kita terbatas, janganlah dihabiskan untuk membeli barang-barang untuk kemudahan. Dibimbangkan, nanti tidak ada langsung bagian untuk kita berbelanja pada perkara-perkara yang asas atau terabai kewajiban fardhu kifayah. Ini akan jadi satu kesalahan. Karena perkara yang asas, wajib ditunaikan dan membangunkan masyarakat itu adalah lebih perlu supaya terlaksananya fardhu kifayah. Itu lebih patut kita utamakan. Biarlah kita susah sedikit asalkan kewajiban dapat ditunaikan.

CINTA DUNIA

Lawan zuhud ialah cinta dunia. Yakni orang yang hatinya terpaut dengan dunia atau mencintai dunia. Sama ada dia boleh memiliki dunia atau tidak, sedikit atau banyak, maka ternafilah sifat zuhudnya. Antara dunia itu ialah harta, yakni yang berupa uang, emas, intan berlian, rumah, kenderaan, tanah, kebun dan lain-lain lagi. Atau pangkat seperti jabatan raja, perdana menteri, menteri, direktur, dan lain sebagainya.

Dunia ini sifatnya mempesona seperti gadis cantik yang memperdaya. Siapa yang memandang semua akan jatuh hati. Jadi siapa saja yang memandang atau memiliki gadis cantik ini tidak lepas dari tertarik atau tergoda padanya. Begitulah juga dengan orang yang cinta dunia. Sudah pasti dunia itu akan mempesonanya. Orang ini tidak akan dapat lepasdari tipu daya olehnya. Allah nyatakan hal ini di dalam firman-Nya:

Maksudnya: “Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan bagi orang yang terpedaya.” (Al Hadid: 20 / Ali Imran: 185)

Allah juga memberi peringatan keras di dalam firman-Nya: Maksudnya: “Jangan sampai dunia itu menipu daya kamu.” (Luqman: 33)

Itulah dunia. Kenapa setelah Allah beri dunia, kemudian dilarang- Nya kita mengambil sewenang-wenangnya dan dunia itu dikatakan penipu pula? Apa maksudnya?

Maksud dunia itu menipu ialah ia menjadikan manusia lalai, tidak dapat tunduk dan tidak patuh lagi pada syariat Allah SWT. Kemudian cinta dunia boleh menyebabkan seseorang itu menjadikan matlamat hidupnya hanya untuk dunia walaupun dia tahu dunia ini tidak kekal. Dia tahu dia juga akan mati dan akan kembali ke Akhirat. Namun dia tidak buat persiapan atau persediaan apa-apa untuk ke sana.

AKIBAT CINTA DUNIA

Cinta dunia ini dapat mengakibatkan beberapa hal. Di antaranya:

  • Dia senantiasa bertungkus-lumus memburu dunia sehingga tidak pernah memperhitungkan halal atau haram.
  • Hatinya senantiasa bimbang atau tidak tenang kalau-kalau dia tidak mendapat dunia yang diburunya itu.
  • Dia jadi manusia yang inferiority complex atau hina diri dengan manusia yang berada bilamana dunia itu tidak dapat dimilikinya.
  • Kalau dia memiliki dunia itu, bimbang pula kalau-kalau hilang atau berkurang dari tangannya. Bimbang dibinasakan oleh bencana alam atau dicuri oleh manusia dan sebagainya.
  • Kalau dia lihat ada orang lain dapat lebih darinya, dia akan susah hati. Dia akan berusaha mencari lagi untuk mengatasi orang itu dengan apa cara pun, selain merasa hasad dengki terhadap orang itu.
  • Dia jadi orang yang berangan-angan untuk senantiasa terus menambah lagi dunia yang telah ada dan fikiran serta usaha-usahanya senantiasa ke arah itu.
  • Dia akan jadi orang yang tamak dan rakus.
  • Kalau dia memiliki dunia, dia akan jadi manusia yang sombong dan boleh jadi kejam.
  • Walaupun niatnya untuk mencari kebahagiaan atau ketenangan tetapi badan, hati dan fikiran tidak kenal istirahat, tidak ada ketenangan dan kebahagiaan lagi.
  • Ia tidak akan tunaikan kewajiban dengan dunia yang dimilikinya. Umpamanya, jika dia dapat pangkat atau jabatan dia akan jadikan itu semua untuk kepentingan diri peribadinya lebih dari Allah SWT dan dari berbakti kepada masyarakat.
  • Kalau dia orang yang berharta, ia tidak akan keluarkan zakat yang menjadi kewajibannya. Apatah lagi kewajiban yang aradhi dan untuk bersedekah.
  • Ia tidak akan tunaikan kewajiban yang aradhi (mendatang). Contoh, orang yang susah tidak dibantunya. Kalau negaranya menghadapi perang, bencana atau kesusahan, dia tidak akan memberi bantuan.
  • Akan timbul pecah belah dan hilang kasih sayang dan persaudaraan karena sombong dengan dunia dan kepentingan diri sendiri.

Manusia akan membencinya. Apatah lagi Allah. Sebab itu sebuah Hadis Nabi Muhammad SAW menyeru:

Maksudnya: “Hendaklah kamu zuhud dengan apa yang ada di dunia niscaya kamu akan dicintai Allah. Hendaklah kamu berzuhud dari apa yang ada pada manusia niscaya kamu akan dicintai oleh manusia.” (Riwayat Ibnu Majah)

Ia akan jadi perusak masyarakat. Karena hendakkan dunia, dia sanggup menipu, menyogok, rasuah, makan riba, beli undi, beli ijazah, beli kertas periksa, beli perempuan atau lelaki dan lain-lain lagi.

Kalau dia berjabatan pemerintah, mungkin dia jadi diktator, kejam, dzalim, yang sanggup menjatuhkan lawan dengan menaburkan uang untuk mempertahankan kedudukannya, menghina dan memfitnah orang demi mempertahankan jabatan atau karena inginkan jabatan itu.

Timbullah huru-hara, haru-biru, kucar-kacir, demontrasi atau mungkin juga peperangan di tengah-tengah masyarakat.

Demikianlah buruknya akibat cinta dunia ini. Maka berlakulah kemuncak kerusakan di kalangan umat Islam di akhir zaman ini. Hatta tidak berpadunya mereka karena inilah. Hingga mereka menjadi lemah dan binasa. Baginda Nabi Muhammad saw sendiri pernah berpesan:

Maksudnya: “Akan tiba ketikanya kamu akan dikeronyok oleh musuh-musuh sebagaimana orang-orang yang berebut untuk makan suatu hidangan.” Para Sahabat bertanya: “Apakah ketika itu jumlah kami sedikit, ya Rasulullah?” Jawab Baginda: “Tidak, bahkan jumlah kamu ketika itu ramai sekali tetapi seperti buih-buih ketika air bah, sedang kamu ditimpa penyakit wahan.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahan itu ya Rasulullah?” Baginda menjawab: “Kecintaan kepada dunia dan takut mati.” (Riwayat Abu Daud)

Bahkan cinta dunia inilah yang menimbulkan seribu satu macam penyakit masyarakat. Sebab itu Baginda Nabi Muhammad saw mengingatkan kita:

Maksudnya: “Cinta dunia kepala segala kejahatan.” (Riwayat Al Baihaqi)

Di sinilah pentingnya memiliki sifat zuhud itu.

Pada saya, dunia itu boleh diambil atau dikendalikan dengan syarat kita tidak jatuh hati padanya dan mengambilnya mengikut keperluan- keperluan yang telah disenaraikan tadi. Tetapi kalau tidak ada dunia dalam tangan sedangkan hati gila dunia, tetap juga tidak dikatakan zuhud. Kalau begitu sebagai kesimpulannya, asas zuhud itu terletak pada hati itu sendiri. Bukan berarti tidak ada dunia, bahkan ada dunia tetapi hatinya tidak terpaut dan pandai menggunakan dunia itu pada tempatnya seperti yang telah kita jelaskan, orang itu tetap bersifat zuhud. Sebaliknya kalau tidak ada dunia tetapi hatinya terpaut dengan dunia, tetap dianggap tidak zuhud.

Kisah Nabi Muhammad saw Menghidupkan Orang Mati

Mungkin kita sangat mengenal mukjizat Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati. Rupanya, Nabi Muhammad saw pun mendapatkan mukjizat tersebut. Sebagai Sayyidul Mursalin, tentunya Nabi Muhammad saw mendapat kemuliaan memperoleh semua mukjizat yang diberikan kepada Nabi-Nabi yang lain.

Berikut kisahnya:

Dalam kitab

Al-‘Ulum al-Fakhirah fi al-Nazhri fi Umur al-Akhirab, Sayyid `Abdurrahman bin Muhammad al Tsa`labi al-Ja`fari al-Maghribi, yang dimakamkan di Aijazair, mengemukakan riwayat Anas r.a. yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw berkata kepada Fari’ah, “Sesungguhnya anak laki-lakimu, Ibrahim, telah mati.” Fari’ah lalu berkata, “Sungguhkah,ya Rasululullah?” Nabi Muhamad saw menjawab, “Ya.” Fari’ah lalu berdoa, “Segala puji bagi Allah. Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku berhijrah kepadaMu dan kepada Nabi-Mu dengan harapan agar Engkau menolongku dalam setiap kesulitan. Oleh karena itu, jangan Engkau timpakan musibah ini atasku.” Nabi Muhammad saw membuka penutup wajah anak Fari’ah, kemudian anak itu hidup kembali dan makan bersama kami.

Mukjizat ini juga dituturkan oleh Ibnu Qattan dan `Iyadh dari Anas r.a. dengan redaksi, `Ada seorang pemuda dari golongan Anshar meninggal dunia. Ia mempunyai seorang ibu yang lemah dan buta. Kami mengafani jenazahnya dan menghibur hati ibunya agar sabar. Kemudian ibunya bertanya, `Benarkah putraku telah mati?’ Kami menjawab, `Ya.’ Ibunya lalu berdoa, `Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku benar-benar berhijrah kepada-Mu dan kepada Nabi-Mu.’ Kisah selanjutnya sama dengan hadis di atas. Riwayat lain dan Ibnu Qattan menceritakan bahwa ketika itu, Allah Swt. menghidupkan anaknya, lalu anak itu makan di hadapan Nabi Muhammad Saw.

Kisah tersebut juga saya kemukakan dalam bab IV kitab Hujjatullah ‘ala al-Alamin. Anas r.a. berkata, “Ketika kami sedang berada di beranda masjid di hadapan Nabi Muhammad Saw, datanglah seorang perempuan tua dan buta yang ikut hijrah membawa putranya yang telah baligh. Tak lama kemudian, putranya terkena penyakit yang scdang mewabah di Madinah. Anak itu sakit beberapa hari, kemudian meninggal dunia. Nabi Muhammad Saw. menutupkan mata anak itu dan memerintahkan kami untuk mempersiapkan pemakamannya. Ketika kami akan memandikannya, Nabi Muhammad Saw berkata, Anas, panggillah ibunya dan beritahukan kabar ini kepadanya.’ Aku memberitahu ibunya, ia datang lalu duduk di depan kedua kaki anaknya. Ia memegang kedua kaki anaknya, dan bertanya, ‘Benarkah anakku mati?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Ibu itu berdoa, ‘Ya Allah, Engkau tahu aku benar-benar telah menyerahkan diri kepada-Mu dengan sukarela, meninggalkan berhala-berhala dengan sungguh-sungguh, dan berhijrah kepada-Mu karena rasa cinta.Ya Allah, janganlah Engkau masukkan aku ke dalam golongan penyembah berhala, dan janganlah Engkau timpakan musibah yang tidak mampu aku pikul.’ Demi Allah, belum sempat ibu itu menyelesaikan doanya, kedua kaki anaknya bergerak-gerak dan menyibakkan pakaian yang menutupi wajahnya. Kemudian anak itu makan bersama kami dan Nabi Muhammad Saw. Anak itu hidup kembali sampai Nabi Muhammad Saw dan ibunya wafat.” (HR Ibnu ‘Adiy, Ibnu Abi Dunya, Al-Baihagi, dan Abu Na’im)

sumber: http://kawansejati.ee.itb.ac.id/fariah-al-anshariyah

Allahu Akbar, Nabi Akhir Zaman itu Masih Hidup Setelah Kewafatannya

Penjelasan bahwa Rasulullah Muhammad saw masih hidup setelah kewafatannya saya kutipkan dari kitab Tanwirul Halak karya Imam Suyuti ( selengkapnya bisa dibaca disini: http://kawansejati.ee.itb.ac.id/tanwir-al-halak )

Berikut kutipan dari Kitab Tanwirul Halak:

Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.”

Abu Manshur ‘Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi mengatakan: “Para sahabat kami yang ahli kalam al-muhaqqiqun berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw hidup setelah wafatnya. Adalah beliau saw bergembira dengan ketaatan ummatnya dan bersedih dengan kemaksiatan mereka, dan beliau membalas shalawat dari ummatnya.” Ia menambahkan, “Para nabi as tidaklah dimakan oleh bumi sedikit pun. Musa as sudah meninggal pada masanya, dan Nabi kita mengabarkan bahwa beliau melihat ia shalat di kuburnya. Disebutkan dalam hadis yang membahas masalah mi’raj, bahwasanya Nabi Muhammad saw melihat Nabi Musa as di langit ke empat serta melihat Adam dan Ibrahim. Jika hal ini benar adanya, maka kami berpendapat bahwa Nabi kita Muhammad saw juga hidup setelah wafatnya, dan beliau dalam kenabiannya.”

Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa para syuhada (orang yang mati syahid) setelah kematian mereka, mereka hidup dengan diberikan rejeki, dalam keadaan gembira dan suka cita. Hal ini merupakan sifat orang-orang yang hidup di dunia. Jika sifat kehidupan di dunia ini saja diberikan kepada para syuhada (orang yang mati syahid), tentu para nabi lebih berhak untuk menerimanya.

Benar, ungkapan yang mengatakan bahwa bumi tidak memakan jasad para nabi as. Hal itu terbukti bahwa Nabi Muhammad saw berkumpul dengan para nabi pada malam isra’ di Baitul Maqdis dan di langit, serta melihat Nabi Musa berdiri shalat di kuburnya. Nabi juga mengabarkan bahwa beliau menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya. Sampai hal yang lebih dari itu, di mana secara global hal tersebut bisa menjadi dasar penyangkalan terhadap kematian para nabi as yang semestinya adalah mereka kembali; gaib dari pada kita, hingga kita tidak bisa menemukan mereka, padahal mereka itu wujud, hidup dan tidaklah melihat mereka seorang pun dari kita melainkan orang yang oleh Allah diberikan kekhususan dengan karamah.

Abu Ya’la dalam Musnadnya dan al-Baihaqi dalam kitab Hciycitul Anbiyci’ mengeluarkan hadis dari Anas ra:

Nabi saw bersabda: “Para nabi hidup di kubur mereka dalam keadaan mengerjakan shalat.”

Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra:

Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka shalat di hadapan Allah SWT sampai ditiupnya sangkakala.”

Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan: “Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan, “Tidaklah seorang nabi itu tinggal di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat.”

Al-Baihaqi menyatakan, atas dasar inilah mereka layaknya seperti orang hidup kebanyakan, sesuai dengan Allah menempatkan mereka.

‘Abdur Razzaq dalam Musnadnya meriwayatkan dari as-Tsauri, dari Abil Miqdam, dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “Tidaklah seorang nabi mendiami bumi lebih dari empat puluh hari.”

Abui Miqdam meriwayatkan dari Tsabit bin Hurmuz al-Kufi, seorang syeikh yang shaleh, Ibn Hibban dalam Tarikhnya dan Thabrani dalam al-Kabir serta Abu Nua’im dalam al-Hilyah, dari Anas ra berkata:

Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang nabi pun yang meninggal, kemudian mendiami kuburnya kecuali hanya empat puluh hari.”

Imamul Haramairi dalam kitab an-Nihayah, dan ar-Rafi’i dalam kitab as-Syarah diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda

“Aku dimuliakan oleh Tuhanku dari ditinggalkannya aku dikubur selama tiga hari.”

Imam al-Haramain menambahkan, diriwayatkan lebih dari dua hari. Abui Hasan bin ar-Raghwati al-Hanbali mencantumkan dalam sebagian kitab-kitabnya:

“Sesungguhnya Allah tidak meninggalkan seorang nabi pun di dalam kuburnya lebih dari setengah hari.”

Al-Imam Badruddin bin as-Shahib dalam Tadzkirahnya membahas dalam satu bab tentang hidupnya Nabi saw setelah memasuki alam bnrzokh. Ia mengambil dalil penjelasan Pemilik syari’at (Allah) dari firmanNya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rejeki,” (QS. Ali ‘Imran: 169).

Keadaan di atas menjelaskan tentang kehidupan alam barzakh setelah kematian, yang dialami oleh salah satu golongan dari ummat ini yang termasuk dalam golongan orang-orang yang bahagia (sn’ada’). Apakah hal-ikhwal mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan Nabi saw? Sebab mereka memperoleh kedudukan semacam ini dengan barakah dan dengan sebab mereka mengikuti beliau, serta bersifat dengan hal yang memang selayaknya mereka memperoleh ganjaran kedudukan ini dengan syahadah (kesaksian), dan syahadah Nabi Muhammad saw itu merupakan paling sempurnanya syahadah.

Nabi Muhammad saw bersabda:

“Aku melewati Nabi Musa as pada malam aku dasra’kan berada di sisi bukit pasir merah, ia sedang berdiri shalat di kuburnya.”

Hal ini jelas sebagai penetapan atas hidupnya Musa as, sebab Nabi saw menggambarkannya sedang melakukan shalat dalam posisi berdiri. Hal semacam ini tidaklah disifati sebagai ruh, melainkan jasad, dan pengkhususannya di kubur merupakan dalilnya. Sebab sekiranya (yang tampak itu) adalah sifat-sifat ruh, maka tidak memerlukan pengkhususan di kuburnya. Tidak seorang pun yang akan mengatakan/berpendapat bahwa ruh-ruh para nabi terisolir (terpenjara) di dalam kubur beserta jasadnya, sedangkan ruh-ruh para su’ada’ (orang-orang yang bahagia/sentosa) dan kaum mukminin berada di surga.

Di dalam ceritanya, Ibn ‘Abbas menuturkan ra:

“Aku merasa tidak sah shalatku sepanjang hidup kecuali sekali shalat saja. Hal itu terjadi ketika aku berada di Masjidil Haram pada waktu Shubuh. Ketika imam takbiratul ihram, aku juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba aku merasa ada kekuatan yang menarikku; kemudian aku berjalan bersama Rasuhdlah antara Mekkah dan Madinah. Kemudian kami melewati sebuah lembah. Nabi bertanya, “Lembah apakdh ini?”Mereka menjawab, “Lembah Azraq.”Kemudian Ibn ‘Abbas berkata, “Seolah-olah aku melihat Musa meletakkan kedua jari telunjuk ke telinganya sambil berdoa kepada Allah dengan talbiyah melewati lembah ini. Kemudian kami melanjutlam perjalanan hingga kami sampai pada sebuah sungai kecil di bukit.” Ibn ‘Abbas melanjutkan kisahnya, “Seolah-olah aku melihat Nabi Yunus di atas unta yang halus, di atasnya ada jubah wol melewati lembah ini sambil membaca talbiyah.”

Dipertanyakan di sini, bagaimana Ibn ‘Abbas bisa menuturkan tentang haji dan talbiyah mereka, padahal mereka sudah meninggal? Dijawab: bahwasanya para syuhada itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan rejeki, maka tidak jauh pula, jika mereka haji dan shalat serta bertaqarrub dengan semampu mereka, meskipun mereka berada di akhirat. Sebenarnya mereka di dunia mi, yakni kampungnya amal, sampai jika telah habis masanya dan berganti ke kampung akhirat, yakni kampungnya jaza’ (pembalasan), maka habis pula amalnya. Ini pendapat dari al-Qadhi Iyadh.

Al-Qadhi Iyadh mengatakan bahwa mereka itu melaksanakan haji dengan jasad mereka dan meninggalkan kubur mereka, maka bagaimana bisa diingkari berpisahnya Nabi saw dengan kuburnya, jika beliau haji, shalat ataupun isra’ dengan jasadnya ke langit, tidaklah beliau terpendam di dalam kubur.

Kesimpulannya dari beberapa penukilan dan hadis tersebut, bahwa Nabi saw hidup dengan jasad dan ruhnya. Dan beliau melakukan aktivitas dan berjalan, sekehendak beliau di seluruh penjuru bumi dan di alam malakut. Dan beliau dalam bentuk/keadaan seperti saat sebelum beliau wafat, tidak berubah sedikit pun. Beliau tidak tampak oleh pandangan sebagaimana para malaikat yang wujudnya adalah ada dan hidup dengan jasad mereka. Jika Allah berkehendak mengangkat hijab tersebut terhadap orang yang Dia kehendaki sebagai bentuk anugerah dengan melihat Nabi, maka orang tersebut akan melihat beliau dalam keadaan apa adanya (seperti saat beliau hidup) dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi dari hal tersebut serta tidak ada pula yang menentang atas pengkhususan melihat yang semisalnya.

Sepatutnya Berterimakasih, tetapi….

Terimakasih Tuhan, Engkau bangunkan aku sekali lagi di pagi ini.

Terimakasih Tuhan, Engkau masih ijinkan mulutku untuk berdoa padaMu: “Segala Puji BagiMu Ya Allah, yang menghidupkan kami setelah Engkau matikan kami dan kepadaMu kami akan kembali”.

Terimakasih Tuhan, Engkau masih izinkan hamba berjalan menuju toilet.

Terimakasih Tuhan, Engkau masih alirkan air untukku bersuci.

Terimakasih Tuhan, bersih badanku siap untuk bermunajat padaMu.

Terimasih Tuhan, jantungku masih berdetak, nafasku masih naik dan turun.

Terimakasih Tuhan, Engkau rizkikan padaku baju, kain sarung, kopiah serta sajadah untuk menyembahmu.

Terimakasih Tuhan, atas hidayah yang Engkau limpahkan hingga aku masih suka menyembahmu dikala manusia tidur bermimpi.

Tuhan, dari aku bangun tidur hingga azan subuh bergema sepatutnya aku mengucap jutaan terimakasih padaMu. Tapi aku selalu lupa untuk berterimakasih padaMu, Ya Maulana. Sungguh, aku adalah hamba yang dzalim 😦

Oh Tuhan, ketika aku belum sibuk dengan urusan dunia (bangun tidur-azan subuh) aku senantiasa lalai dari mengingatiMu. Duh, betapalah lagi nanti ketika siang hari, ketika urusan dunia sudah menyibukkanku. Betapa aku akan lebih lalai lagi padaMu.

Memang, “inni kuntu minadzalimin” (sungguh aku adalah hamba yang dzalim).

Susahnya Mengubah Perangai Manusia

Mengubah gunung lebih mudah daripada mengubah perangai manusia. Kita lihat bagaimana Freeport saja dalam waktu kurang dari 30 tahun mampu mengubah bukit menjadi lembah 🙂. Mengubah hutan yang lebat menjadi pekan atau Bandar itu pun lebih mudah daripada mengubah tabiat seorang manusia. Mengubah laut menjadi daratan juga masih lebih mudah daripada mengubah sifat jahat manusia menjadi baik.

Dunia ini lebih mudah diubah daripada penghuninya di kalangan manusia. Kita lihat diri kita, sejak kecil kita pemarah. Sampai sekarang pun kita masih pemarah. Waktu kecil kita bakhil, sampai sekarangpun kita masih bakhil. Padahal kita tahu bakhlil itu sifat jahat. Begitulah penglaman kita mendidik diri kita dan diri orang lain di sekitar kita. Padahal, dalam waktu yang sama dunia di sekitar kita sudah berubah dengan pesatnya.

Karena itulah Allah datangkan Nabi dan Rasul untuk mendidik manusia (di zaman masih ada Nabi dan Rasul). Setelah zaman ketiadaan nabi dan Rasul, Allah utus ulama yang berwatak rasul alias ulama pewaris Nabi. Ulamam yang mewarisi segala sifat dan sikap Nabi. Akhlaknya, kepemimpinannya, keberaniannya, berhikmahnya, teladannya, semuanya mewarisi sifat-sifat Rasul.

Dari fakta sejarah dan pengalaman kita, kita bias simpulkan bahwa untuk membangun peradaban lahiriah siapa saja bisa melakukannya. Bila sarat-saratnya terpenuhi, kemajuan lahiriah di dunia kan bias dicapai. Akan tetapi, untuk membangun insaniah manusia diperlukan pemimpin yang bukan calang-calang pemimpin. Bukan sembarang pemimpin bias mengubah dan mendidik insaniah manusia. Insaniah manusia hanya mampu didik oleh pemimpin dan guru yang bertaqwa.

7 Peringkat Zalim

“Tuhan (Allah) tidak menzalimi mereka itu (maksudnya manusia), tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (Ar Rum: 9)

Ketika berbicara mengenai zalim, maka zalim itu berperingkat-peringkat. Tulisan ini akan membahas mengenai 7 peringkat zalim yang dilakukan oleh manusia.

1. Zalim dengan Tuhan.

Zalim dengan Tuhan meripakan penzaliman peringkat tertinggi, tak ada yang lebih tinggi. Apa arti zalim dengan Tuhan? Tidak kenal Tuhan atau syirik dengan Tuhan, tidak takut dengan Tuhan, tidak cinta dengan Tuhan, tidak peduli dengan Tuhan, hidup ini tidak dihubungkan dengan Tuhan.

Setiap hari kita zalim dengan Tuhan tetapi hal ini jarang terpikir oleh kita. Hidup kita sehari-hari tidak peduli Tuhan. Padahal, dalam Al Quran Allah berfirman: “iqra bismi rabbika” Bacalah atas nama Tuhanmu.

Jadi, ketika hendak melakukan apa saja buatlah atas nama Tuhan. Berjuang, membangun, berekonomi, mendidik, berbudaya, mengurus, dll mesti atas nama Tuhan. Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan mesti dikaitkan dengan Tuhan, mesti ada hubungan dengan Tuhan. Kalau tidak, kita telah melakukan penzaliman yang paling tinggi.

2. Zalim dengan Fisik Pemberian Tuhan

Melihat dengan mata mesti atas nama Tuhan. Mendengar, berbicara, bertindak, gunakan tangan, kaki mesti atas nama Tuhan. Artinya, tindakan fisik kita selaras dengan kehendak Tuhan. Jangan sampai mata, telinga, mulut tangan, kaki mendurhakai Tuhan. Semua gerak gerik kita jangan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kalau berlaku kita melakukan penzaliman peringkat ke-2.

3. Zalim dengan Harta Karunia Tuhan.

Harta milik Tuhan, Tuhan bagi pada kita. Ada yang dapat sedikit, miskinlah dia. Ada pula yang mendapat banyak hingga menjadi milyader. Harta yang Tuhan bagi kepada kita janganlah digunakan sedikitpun selain karena Tuhan. Mesti selaras dengan kehendak Tuhan. Sebab yang kita miliki itu milik Tuhan. Harta itu tidak boleh kita gunakan sesuka hati, mesti ikut cara Tuhan, baik disebut zakat, sedekah. Kalau tidak kita buat penzaliman yang ke-3.

4. Zalim kepada manusia lain.

Zalim kepada manusia lain seperti: memukul, mengata, menjatuhkan, mempermalukan dimuka umum, menghina, memfitnah, mencuri. Zalim yang ada hubungannya dengan manusia lain ini yang dibesarkan setiap hari. Zalim peringkat tertinggi sepi-sepi saja. Jenis yang kedua juga tidak pernah diperbincangkan, yang ke-3 juga kurang diperkatakan oleh orang. Tetapi, yang ke-4 ini yang sering dibicarakan orang.

“Tidak sepatutnya dia memukul saya”

“Mengapa dia menebarkan fitnah mengenai saya”

Zalim jenis ini setiap hari dihebohkan. Sehingga, perkataan zalim sudah dipersempit maknanya.

5. Zalim dengan Jabatan Yang diemban.

Jabatan ada bermacam-macam. Mungkin dia Presiden, Gubernur, Menteri, Dirjen, Irjen, Kasubdit, Kabag, dll. Jabatan-jabatan ini kalau tidak diemban selaras dengan kehendak Tuhan maka dia dikatakan zalim.

Zalim dengan jabatan ini juga selalu dibesar-besarkan orang. Nampak Presiden zalim. Gubernur zalim. Yang terlihat adalah jabatan yang besar-besar. Kalau jabatan-jabatan yang dibawah, jarang disebut orang mengenai kezalimannya. Sekecil apapun jabatan, mesti selaras dengan kehendak Tuhan. Kalau tidak selaras dengan kehendak Tuhan, itulah zalim.

6. Zalim dengan ilmu.

Soal ilmu ini, ada yang dapat banyak ilmu ada pula yang dapat sedikit. Baik yang dapat banyak ilmu ataupun yang dapat sedikit ilmu, kalau ilmu tersebut digunakan bukan untuk Tuhan alias untuk kepentingan diri, itulah zalim.

Di zaman ini orang banyak yang menyalahgunakan ilmu ( bahkan ILMU ISLAM ! ) bukan untuk Tuhan tapi untuk duit, kemegahan, nama, dan jabatan. Itulah zalim. Namun, tentu saja hal ini tidak pernah masuk surat kabar. Orang yang menggunakan ilmu untuk kepentingan diri tidak terfikir kalau dirinya zalim. Bahkan, saat ini orang yang megah dan sombong dengan ilmu tidak dikatakan zalim lagi. Bahkan orang menganggap dia memiliki wibawa. Sombong dengan ilmu, “hebat, orang ini memiliki ilmu”. Aneh sekali, durhaka dengan Tuhan dan hendak masuk neraka dikatakan memiliki wibawa?

7. Zalim dengan ruh/perasaan.

Hari ini, tidak ada orang yang menyebut-nyebut mengenai zalim jenis ini. Surat kabar, radio, TV juga tidak pernah menyebutkannya. Sepatutnya ruh atau perasaan kita adalah untuk Allah, untuk cinta dan rindu pada utusan Allah, Nabi Muhammad saw

Hari ini apa yang orang rasa:

“aduh sakit, kapan ya sehatnya?”

“sedihnya hidup miskin dan melarat, kapan bisa kaya”

“Istriku kok tidak menyayayangiku ya?”

Perasaan sepatut diberi pada Tuhan. Tapi perasaan sudah disalahgunakan, sedih karena sakit, susah karena miskin, susah karena istri yang kurang menyayangi. Ini juga zalim. Sepatutnya perasaan sedih kita itu sedih dengan dosa-dosa kita. Perasaan susah kita itu karena kita tidak bisa menolong orang. Perasaan cinta dan rindu itu terutama pada Nabi Muhammad saw, manusia yang paling utama dan paling agung. Itu namanya menggunakan perasaan seperti kehendak Tuhan.

Zalim ini luas sekali maknanya. Sayang, orang hanya membesarkan yang no 4. Sebab itu ada ayat Qur’an yang maknanya,

Jangan engkau campakkan diri engkau dalam kebinasaan.” (Al Baqarah : 195)

Ayat ini ditujukan ditujukan kepada orang yang tidak mendermakan harta mereka. Orang yang tidak bersedekah artinya mencampak diri dalam Neraka, itulah zalim. Orang yang tidak berkorban harta dianggap zalim. Tapi zalim yang paling top adalah orang yang tidak kenal Allah, tidak takut Allah, tidak cinta Allah serta melupakan utusan Allah, yakni Nabi Muhammad saw.

Kalau kita bahas, zalim peringkat teratas itu ada dalam diri kita. Kalau tidak selalu, sekali sekala kita buat juga kezaliman yang paling besar ini. Kalau orang paham zalim pada Tuhan begitu luas, ia tidak akan bergaduh. Walaupun orang zalim pada dia, dia tidak nampak kezaliman orang itu padanya, karena kita sendiri zalim pada Tuhan. Namun, karena yang besar tidak nampak, yang nampak bentuk kedzaliman yang lain. Kezaliman yang lain itulah yang akhirnya yang dibesar-besarkan. 

Hati Yang Lalai

Seorang manusia yang hatinya lalai dengan Tuhan maka hatinya akan dipenuhi dengan mazmumah (sifat jahat). Karena dia telah lalai dengan Tuhan, dia tidak merasakan Tuhan dalam kehidupannya. Karena merasa bahwa Tuhan itu tidak lagi berperanan dalam kehidupannya maka rasa kehambaannya pun lenyap.

Seorang manusia yang hatinya lalai dan tidak lagi merasakan peranan Tuhan dalam kehidupannya maka jiwanya akan mati. Hati yang mati seperti batu yang keras. Air tidak dapat masuk ke dalamnya. Apapun yang di tanam di atas batu itu tidak dapat tumbuh. Begitulah apabila hati telah mengeras seperti batu, dia tidak dapat menerima pengajaran. Apabila dinasehati dia akan sakit hati. Apabila disebut nama Allah tidak terasa apa-apa. Apabila diingatkan mengenai dosa dan pahala dia tak peduli.

Manusia-manusia yang hatinya sudah keras seperti inilah yang akan menjadi bencana kepada dunia. Mereka akan menjadi penindas yang dzalim. Mereka akan menjadi pembuat onar. Huru-hara akan dicetuskannya.

Sungguh dasyat apabila hati sudah keras seperti batu.

Akibat Tiada Didikan Ruhani

Apa jadinya kalau sedari kecil manusia tidak didik ruhaniahnya? Apa jadinya kalau sedari kecil dia hanya diberi ilmu mengenai syariat yang lahir saja? Dia hanya diberi ilmu mengenai tata cara shalat, tata cara puasa, tata cara bersuci, dan berbagai macam syariat yang lahiriah sedangkan dia tidak dididik mengenai syariat yang batiniah seperti merendah diri, jujur, amanah, bersangka baik dan sebagainya.

Kalau seperti itu, dia akan lebih mengenal orang lain daripada dirinya sendiri. Kejahatan orang lain akan terlihat lebih jelas di matanya dibandingkan kejahatannya sendiri. Dia mampu melihat dan menila kesombongan dan ego orang lain. Namun, pada waktu yang sama dia tidak mampu melihat kesombongan dan ego dirinya sendiri yang lebih besar. Semut di seberang Nampak gajah dipelupuk mata tak Nampak, begitu kata peribahasa.

Dia memandang jahat kepada orang lain yang tidak membantunya ketika dia sedang mengalami kesusahan. Padahal diatidak pernah membantu kesusahan ornag lain. Dia tersinggung apabila ada orang lain yang mementingkan dirinya sendiri sedangkan dia tidak sadar kalau mementingkan diri sendiri sudah menjadi budaya hidupnya.

Dia merasa tak sepatutnya orang lain itu bakhil sedangkan kalau dirinya sendiri yang bakhil itu tidak mengapa. Orang lain tidak sabaran dia mampu melihatnya dengan jelas, tetapi dirinya sendiri yang tidak sabaran dia tidak mampu memahaminya.

Itulah akibat dari kesalahan mendidik manusia dari kecil. Persoalan ruhaniah atau persoalan hati yang berkaitan dengn asifat mazmumah (sifat jahat) dan sifat mahmudah (sifat baik) tidak pernah dikenalnya. Kalaupun diajarkan mengenai agama Islam, itu hanya menekankan persoalan-persoalan lahiriah semata. Akibatnya dia tidak mampu mengenal dirinya sendiri. Tidak kenal diri artinya dia tidak dapat menilai diri. Maka dia hanya akan melihat kejahatan orang lain sedangkan kejahatannya sendiri tidak mampu dikenalinya. Karena itulah, orang yang seperti ini selalu saja menudingkan jarinya kepada orang lain. Dirinya terkecuali dari kesalahan itu. Begitu banyak manusia bersikap seperti ini di akhir zaman ini.

Hidup Menurut Aturan Allah

Manusia hidup menjejakkan kaki di bumi dan beratapkan langit Allah. Manusia makan dari tumbuhan dan binatang ternak yang Allah ciptakan. Manusia minum dari air ciptaan Allah. Bernafas pun udara ciptaan Allah juga. Itulah hakikat kehidupan manusia di dunia ini. Pertanyaannya, mengapa manusia tidak mau hidup menurut aturan yang telah Allah tentukan? Bayangkan ada seorang yang menggunakan peralatan elektronik atau mesin tidak sesuai prosedur pemakaian yang telah ditetapkan oleh pabrik pembuatnya. Tentu kerusakanlah jawabannya.

Allah berfirman:

“Lahirlah kerusakan di lautan dan di daratan akibat dari tangan-tangan manusia”

[Q.S. Ar Rum : 41]

Kerusakan di laut dan di darat telah kita rasakan bersama akibat manusia-manusia yang hidup dimuka bumi ciptaan Allah ini tetapi tidak mau mengikuti aturan Allah. Manusia-manusia seperti ini Allah cap dengan gelaran kafir atau dzalim atau fasik, sebagaimana firman Allah:

“Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum dari Allah maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir”

[Q.S. Al Maidah : 44]

“Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum dari Allah maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang zalim”

[Q.S. Al Maidah : 45]

“Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum dari Allah maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang fasiq”

[Q.S. Al Maidah : 46]

Supaya manusia bias hidup di dunia ini seperti yang dikehendaki Allah (sesuai Al Quran dan As Sunnah) maka manusia perlu menjalani Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat.

Syariat

Syariat adalah peraturan lahir dan batin atau hukum Allah yang telah ditetapkan dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh hadis Rasulullah SAW. Hukum Syariat terdiri dari lima hukum, yaitu wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.

Syariat Allah yang terdiri dari lima hukum itu, kalau membahas mengenai persoalan keyakinan dan aqidah, disebut tauhid. Bila membahas persoalan lahiriah seperti berpakaian, perdagangan, tatacara shalat disebut fiqih. Kalau syariat itu kalau membahas mengenai persoalan hati, nafsu, batin atau rohani disebut tasawuf.

Tauhid, fiqih dan tasawuf tidak dapat dipisahkan, ketiganya harus dipelajari, difahami dan diamalkan, misalnya dalam shalat, ketiganya harus diamalkan secara serentak.

Fiqihnya : Berdiri, rukuk, sujud dalam setiap bacaan dan perbuatan dalam shalat

Tauhidnya : Yakin dengan Allah Yang Maha Melihat

Tasawufnya : Khusyuk, faham setiap bacaan dan rasa tadharuk dengan Allah.

Ketiganya tidak dapat dipisahkan, Imam Malik r.a berkata :

“Barang siapa yang semata-mata berfiqih tetapi tidak bertasawuf, dia akan jatuh fasiq. Barang siapa yang bertasawuf tetapi tidak berfiqih, dia akan jatuh zindiq (kafir)”.

Tarekat

Tarekat artinya jalan.

Tarekat terbagi dua :

Tarekat wajib yaitu syariat yang berbentuk teori kemudian diamalkan sungguh-sungguh. Contoh: bertarekat dalam shalat maknanya kita belajar ilmu tentang shalat kemudian melaksanakan shalat seperti yang kita pelajari.

Tarikat sunat. Seperti tarekat Alawiyah, Satariah, Qadariah, Naqsabandiyah, Muhammadiyah dan lain-lain, yaitu kita mengamalkan disiplin wirid-wirid, shalawat-shalawat tertentu yang disusun oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung dengan Rasulullah saw.

Tarekat wajib, memang wajib bagi setiap orang untuk mengamalkannya. Tarekat sunat banyak diamalkan oleh orang yang bercita-cita mendidik diri dan oleh ulama-ulama yang haq.

Sebaiknya kita juga mengamalkan tarekat sunat untuk memudahkan jalan kita menuju Allah. Orang yang mengamalkan tarekat sunat ini akan dibantu dalam bermujahadah melawan nafsu dan mendidik hati ke arah taqwa. Perlu diingat dalam kita mengamalkan tarekat sunat, kita tidak boleh meninggalkan tarekat wajib, karena amalan sunat tidak akan memiliki nilai apa-apa tanpa mengerjakan amalan wajib.

Hakikat

Setelah seseorang itu bersyariat dan bertarekat sungguh-sungguh dia akan dapat rasa Hakikat, yaitu rasa yang Allah jatuhkan ke hati hambaNya yang Dia pilih dan kehendaki. Orang ini tidak lagi memiliki sifat mazmumah (sifat jahat). Sifat-sifat mahmudah (terpuji) menghiasi dirinya, seperti rasa syukur, redha, zuhud, tawakal, pemurah, dan lain-lain. Jiwanya tidak terpengaruh dengan perubahan suasana. Allah letakkan dalam hatinya rasa tenang dan damai. Firman Allah :

Ketahuilah dengan mengingati Allah itu hati akan tenang

[Q.S. Ar Rad : 128]

Orang berzikir yang mendapat ketenangan itu mulutnya menyebut Allah, hati merasakan kebesaran Allah dan perbuatannya melaksanakan perintah Allah. Soal hakikat atau buah ibadah tidak dapat dipelajari. Siapa yang dapat, dia akan merasakannya. Orang yang telah mendapat hakikat, dikatakan orang yang benar-benar kenal Allah.

Makrifat

Orang yang telah sampai ke tingkat makrifat dikatakan orang-orang yang Al ‘Arifbillah atau golongan ‘Arifin. Mereka ini kenal Allah dengan mata hati dan mereka telah mencapai taraf bertaqwa. Mereka benar-benar dapat melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan Allah yang haram dan makruh.

Kalau ada orang yang melaksanakan syariat dengan sungguh-sungguh, memahami kelima hukum dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tenang, tidak redha, tidak sabar dan lain-lain dia harus memeriksa dirinya, muhasabah dirinya kembali. Kalau bukan kesalahan di bidang Tauhid, mungkin salah di bidang fiqih atau di bidang tasawuf.